Saya ragu harga daging sapi akan turun. Ketika harganya dikabarkan mencapai Rp. 140.000/Kg, maka saya kaget dengan angka yang tertera di laman berita Kompas.com.
Ah, mungkin wartawan salah menulis angka itu. Tapi, setelah Metro TV memberitakan hal yang sama baru saya percaya jika harga sapi memang mahal sekali. Seingat saya, harga daging sapi pernah dibawah Rp. 40.000/Kg hingga akhirnya dia merangkak naik sampai mencekik.
Kalau begitu, cita-cita akan swasembada daging hanya angan-angan belaka. Komoditas istimewa ini hanya bisa didapatkan oleh kalangan berpunya. Sedangkan kalangan tak berpunya hanya akan mendengar namanya saja. Masih untung jika Idul Adha mendapatkan pemberian dari panitia. Itu pun harus mengantri kupon layaknya mengantri minyak goreng di kala langka.
Sebagai konsumen, tentu saja harga sapi setinggi ini sangat menyulitkan. Memang, daging sapi bukan satu-satunya sumber protein hewani. Hanya saja keadaan ini sungguh memalukan. Urusan makan saja negeri ini masih kelabakan.
Kalau harus impor sapi dari luar negeri, ya lakukan saja. Jika itu bisa menurunkan harga, meskipun saya tahu bakal ada yang kecewa. Ketika sapi impor membanjiri negeri tentu saja peternak lokal bakal protes keras karena kalah bersaing.
Hanya saja, bagi konsumen harga murah lebih penting. Terserah darimana sumbernya, hal utama kita bisa makan enak.
Karena, kebanggaan akan produk pangan dalam negeri tidak terbersit dalam pikiran kami. Ketika orang lain mengagungkan idealisme untuk mencintai produk dalam negeri maka konsumen lebih memilih produk yang mudah dibeli.
***
Saya masih bertanya-tanya, sejak kapan daging sapi diistimewakan. Padahal, dulu ternak ini ada di mana-mana. Selain untuk membajak ladang, mereka biasa digunakan sebagai kendaraan.
Apakah karena pikiran manusia mengistimewakan si daging sapi sehingga secara tak sadar harganya menjadi 'istimewa'. Padahal, dia hanya hewan ternak layaknya domba, kerbau atau angsa. Hanya bentuknya saja yang berbeda.