Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Sedang Berkompetisi dengan Bangsa Lain, Sadarkah?

21 November 2021   17:28 Diperbarui: 21 November 2021   17:31 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan tol trans Sumatera sebagai simbol persaingan antar bangsa. (Foto: kompas.com)

Saya bukan kelas pekerja kerah putih yang sering bertemu rekan bisnis dari luar negeri. Orang yang saya temui setiap hari warna kulitnya sama dengan saya, sawo matang. Bola matanya sama, hitam bukan cokelat atau biru.

Jadi,  lingkungan saya tidak menyadarkan jika kita sebagai bangsa sedang bersaing dengan bangsa lain. Hal yang disadari adalah kita sedang bersaing dengan tetangga sendiri. Literelek, bersaing dengan tetangga sendiri bukan dengan negara tetangga.

Lah, apa pentingnya jika kita sadar kalau saat ini kita sedang bersaing dengan bangsa lain? Untungnya buat kita apa?

Benar juga, jika tidak ada untungnya buat diri sendiri maka untuk apa berpikir terlalu tinggi. Jika tidak ada uangnya buat apa berjuang untuk mengisi kemerdekaan. Lebih-lebih, negeri ini belum tentu memberikan apa-apa buat kita.

Sebagai orang desa _yang kehidupannya begitu-begitu saja_ saya sering memperhatikan bagaimana warga tidak membicarakan hal-hal di luar kehidupan kesehariannya. Bercakap-cakap dengan orang desa tidak akan jauh dari topik musim panen yang akan tiba, anak sekolah yang mulai meminta macam-macam atau kegiatan Pemerintah Desa yang digalakan jika dananya ada. Bicara agama pun jarang sekali membahas kemajuan peradaban negara asalnya, hanya seputar ritual belaka.

Apa yang dibicarakan oleh tokoh agama, tokoh pendidikan atau pengusaha lokal bukan tentang bersaing dengan negeri lain. Jika ada investor datang dari negeri seberang hanya berpikir bagaimana anak dan cucunya bisa ikut menjadi pekerja di perusahaan itu. Merasa tersaingi, tidak tuh.

Saya mulai berpikir jika kita pun sebagai manusia Indonesia sudah terjangkit individualisme. Sikap guyub ada jika ada untungnya. Selama tidak ada untungnya, jangan memikirkan persaingan bangsa memikirkan nasib sendiri juga betapa sulitnya.

Nah, masalahnya ketika nasib sendiri tak kunjung membaik. Bahkan hingga ajal menjemput, nasib baik tidak menghampiri. Berpangku saja pada nasib.

Bukan tentang melakukan sesuatu yang besar, tidak. Bukan itu yang ingin saya tekankan.

Tetapi, berpikir hal besar ternyata diperlukan. Bersaing dengan bangsa lain sebagaimana para atlet ingin mengharumkan nama bangsanya. Itu saja. Melakukan apa yang kita sanggup. Karena, setahu saya bangsa pemenang bukan sekumpulan orang yang suka berkhayal menguasai dunia. Tetapi, mereka melangkah untuk itu.

Menurut banyak kisah, bangsa Mongol bisa menguasai banyak tempat karena pemimpinnya Jengis Khan berpikir hal besar. Tidak membutuhkan waktu lama keruntuhan bangsa besar itu. Penyebabnya, karena keturunannya tidak berpikir sebesar pendahulunya.

Dan, jangan sampai bangsa sebesar Indonesia runtuh dalam waktu sekejap karena tidak berpikir untuk terus menjadi besar. Alasannya sederhana, buat apa menjadi bangsa besar jika tidak ada untungnya ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun