Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Warga Suburban di Desaku

18 Januari 2021   20:06 Diperbarui: 18 Januari 2021   20:31 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di balik pegunungan itu adalah Kota Bandung. Hanya butuh waktu kurang dari 1 jam untuk pergi ke sana. (Dokpri)

Di desa saya, mulai nampak benih-benih pertumbuhan warga suburban. Ada alasan kenapa itu terjadi. Pertama, desa kami dekat dengan kota besar. Kedua, sarana transportasi yang semakin mudah dan murah.

Bertambahnya jumlah penduduk memaksa alam untuk menyerahkan sebagian miliknya sebagai tempat bermukim para manusia. Bukit-bukit diubah menjadi pemukiman. Hutan-hutan dirambah untuk kebutuhan pangan dan wisata demi melepas kepenatan.

Gaya hidup manusia suburban memang berbeda dengan warga desa yang berpijak pada sektor pertanian. Warga suburban bukan petani yang mengandalkan lahan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan, mereka pekerja atau wirausahawan yang menggantungkan hidupnya di perkotaan. Namun, tempat tinggal dan buang hajat dilakukan di pedesaan.

Warga suburban di daerah saya bisa ditandai dengan aktifitasnya sehari-hari. Pagi hari berangkat kerja ke kota yang berjarak puluhan kilometer. Kembali pulang menjelang malam. Alam pedesaan hanya dijadikan tempat untuk mengisi waktu luang atau libur akhir pekan.

Peran terbesar mereka adalah membawa uang dari kota dan membelanjakannya di desa. Itu pun jika  di desa ada banyak produk yang bisa dijual. Tapi, apabila produktifitas warga desa begitu rendah maka transaksi itu tidak akan pernah ada.

Warga suburban secara kasat mata memisahkan diri dengan warga desa terutama para petani. Sangat mungkin jika belanja terbesar mereka dilakukan bukan di desa tetapi di kota tempatnya bekerja.

Dilematis. Jika dilihat dari kacamata warga desa sebagai petani, maka keberadaan warga suburban ini bisa mencaplok kepentingan terbesar populasi desa. Lahan pertanian bisa berubah fungsi. Budaya hingga etika jelas bisa terdegradasi.

Namun, jika dilihat dari kacamata pembangunan maka warga suburban ini sebuah keniscayaan. Pertumbuhannya sebagai ciri sebuah kemajuan pembangunan. Walaupun peran mereka tidak signifikan mengerek pertumbuhan ekonomi masyarakat pedesaan.

Sayangnya, warga suburban di desa saya malah menjadi "pasar yang berpindah" dari kota ke desa. Produk-produk khas kelas menengah seperti peralatan elektronik serta  kendaraan membanjiri desa kami.

Lalu, apakah ada adaptasi teknologi yang dibawa dari desa ke kota? Nyaris tidak ada. Karena, kapital terbesar sebagai penggerak ekonomi kawasan tidak turut berpindah dari kota ke desa.
Tidak banyak perusahaan yang mau membangun pabrik di desa. Apalagi membangun kantor, ya jauh dari pusat peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun