Saya pernah beberapa kali menolak memberi nomor Whatsapp ke teman lama yang kebetulan berinteraksi di Facebook dan Instagram. Bukannya bermaksud sombong, tetapi saya  tidak nyaman jika dikirimi "pesan berantai" yang tidak relevan dengan kebutuhan saya.
Saya berkaca pada Bapa yang suka dikirimi pesan-pesan provokasi dari akun-akun temannya. Namanya juga aplikasi ngobrol, ya kalau tidak dibalas seakan tidak peduli. Tapi, malah memenuhi memori ponsel sendiri. Ah ...
***
Aplikasi yang tidak ingin saya gunakan tetapi "terpaksa" menggunakan ya Whatsapp. Alasannya bukan semata pada aplikasinya, tetapi saya sendiri memang tidak suka "ngobrol". Jangankan di alam maya, di alam nyata pun saya jarang sekali bicara.
Padahal, aplikasi yang satu ini penuh dengan obrolan "ngaler-ngidul" yang tidak tentu arahnya. Curhat sana-sini hingga menggunjing pemerintah sering menjadi tema obrolan di grup chat.
Jika Anda bertanya bagaimana rasanya tanpa aplikasi ini di ponsel? Biasa saja tuh.
Kata buku psikologi, saya ini termasuk orang yang introvert walaupun tidak ekstrim. Bagi saya, tidak terhubung dengan banyak orang malah membawa pada ketenangan. Saya tidak perlu tahu apa yang sedang dibicarakan orang di luar sana.
Jika saya membutuhkan informasi, ya tinggal buka Facebook atau Google Search. Karena notifikasi tidak dinyalakan, ya ponsel lebih banyak beristirahat dari pesan-pesan yang tidak penting.
Terhubung dengan banyak orang tidak harus selalu menggunakan Whatsapp. Menggunakan Kompasiana juga bisa. Iya kan?
Aplikasi ini begitu trendi sampai-sampai merajai dan seakan tidak ada pengganti. Dan anehnya, di kampung saya aplikasi ini berubah fungsi jadi media sosial yang serba "pamer status" dan tidak tertutup lagi sifatnya. Nyaris tidak ada kerahasiaan.
Kalau fungsinya untuk sekedar eksistensi, apa bedanya dengan Facebook dan Instagram?