Kalau ditanya bagaimana rasanya jadi pengangguran, saya paham sekali. Bertahun-tahun tanpa penghasilan yang jelas, tidak ada pekerjaan tetap sebagai andalan pendapatan. Hah, kekhawatiran bahkan ketakutan senantiasa menghantui.
Ketika saya tahu bagaimana rasanya menganggur, maka lambut laun paham juga kenapa pengangguran itu bisa tercipta. Ini sih hanya pengamatan saya pribadi, belum bisa disebut sebagai alasan yang bersifat ilmiah. Tapi, seburuk-buruknya hasil pengamatan, toh bisa juga dijadikan rujukan dalam lapangan kehidupan. Bukankah filosof juga mempengaruhi pikiran orang berdasarkan pengamatan?
Dari sekian banyak faktor yang menimbulkan pengangguran, saya menyimpulkan jika cara berpikir kita sangat berpengaruh. Sangat mungkin, jika pengangguran tercipta semata-mata dari cara berpikir manusia.
Apabila Anda ingin membuat seseorang menganggur, bawalah dia pada cara berpikir tentang bagaimana dia menyikapi "apa itu pekerjaan". Jika masih menganggap pekerjaan sebagai bentuk penyiksaan diri, tak ayal dia jadi tidak mau bekerja.Â
Jika dia berpikir bekerja sebagai sarana mengaktualisasikan diri maka dia akan melakukan apa yang ingin dikerjakan tanpa menunggu diperintah. Jika dia menganggap pekerjaan hanya sebatas pekerjaan formal maka tidak aneh orang banyak yang enggan bekerja informal.
Begitu mudah menciptakan pengangguran, buatlah dia "menyepelekan" apa yang dia punya. Punya tangan tidak mau menggunakan. Punya kaki tidak mau melangkah. Punya uang tidak mau menginvestasikan. Punya ilmu tidak mau menggunakan. Punya tanah tidak mau menggarap. Punya otak tidak mau berpikir.
Saya tidak mau mencari kambing hitam atas situasi yang saya hadapi sebagai pengangguran. Menyalahkan orang tua? Menyalahkan tetangga, bahkan negara? Menyalahkan Tuhan?
Saya hanya melihat pada diri sendiri dan bertanya, sudahkah memanfaatkan apa yang ada dalam diri saya? Jawabannya, ternyata belum.
Saya belum menggunakan tangan saya untuk melakukan banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu orang lain memulai. Saya belum memaksimalkan potensi otak saya, berpikir belum menjadi kebiasaan. Wajar jika tidak ada ide yang datang. Ada rumah, hanya digunakan untuk berteduh. Bahkan, tersedia sarana komunikasi hanya untuk eksistensi tanpa arti. Ah.
Jika dirunut ke masa lalu _ketika saya masih menganggap bahwa bekerja itu harus pulang-pergi ke kantor_ maka melakukan hal selain itu tidak terpikirkan. Belajar pun difokuskan untuk melakukan pekerjaan yang sudah ada dan populer padahal saya belum tentu bekerja di bidang yang dipelajari. Seperti wartawan tapi kelulusan jurusan pertanian. Yang dipelajari dengan yang ditekuni, jauh.
Dahulu, saya peniru. Sangat meniru. Sulit untuk menjadi diri sendiri, belajar bukan yang dibutuhkan dan mencari ilmu tidak sesuai minat-bakat. Cenderung melihat profesi yang "terkesan berpenghasilan tinggi" dan meremehkan profesi yang kurang gengsi apalagi minim gaji.