Sinar pagi menyinari awal hari, besertanya kicauan  burung menyertai. Udara segar yang terhirup ketika pintu dan jendela dibuka, mengajak kita untuk senantiasa bersyukur pada-Nya.
Sekelompok burung beterbangan di pohon nangka kemudian mencari ulat untuk dimakan. Mereka gembira dengan sarapan paginya.
Menyusul si burung kuntul hinggap di pematang sawah, siapa tahu ada keong di sana. Daging kenyal si keong malah menjadi makanan favorit apalagi sembari menikmati hangatnya mentari.
Diantara mereka, si burung cekakak tidak mau kalah mengeluarkan suara yang memekakan telinga. Dia tidak pandai bernyanyi, tapi suaranya sanggup mengagetkan manusia yang terus melamunkan nasibnya yang malang.
Kicauan burung pipit, burung anis, burung wiwik kelabu hingga burung perkutut sering menghiasi pagi kami. Namun, suasana ini tidak semua orang bisa menikmati karena berubahnya kondisi.
Di lain tempat, kicauan  burung adalah "hal mahal" semahal harga burung peliharaan di sangkar. Di balik kokohnya tembok gedung tinggi, kicauan merpati pun adalah hal yang mungkin jarang terdengar.
Suara tawa dan tangis manusia nampaknya lebih sering terdengar. Kegembiraan seekor burung dikalahkan oleh jeritan penderitaan ummat manusia yang lupa akan tugasnya di dunia, yakni menjaga alam.
Serbuan keangkuhan ummat manusia mengusir penghuni sebenarnya. Merekalah kawanan burung yang biasa bersarang di pepohonan dan rerumputan. Lahan hijau tempat mencari makanan kini berubah menjadi warna-warni tanpa harmoni.
***
Walaupun begitu, manusia masih rindu akan keriangan si burung. Kicauannya sengaja diperdengarkan, meskipun dalam bentuk digital.
Memang alamiah, kicauan menurunkan tekanan pikiran manusia yang sering dilanda resah. Apalagi jika mendengar kicauan mereka karena menikmati kebebasan bukan kicauan jeritan karena ketidakbebasan.