Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memikirkan Desa di Tengah Wabah Corona

12 April 2020   20:02 Diperbarui: 12 April 2020   20:10 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali ke desa bukan hanya karena wabah yang melanda, tetapi bisa menjadi cara baru untuk mengubah gaya hidup. Ketergantungan orang desa pada kemajuan kota, untuk sesaat berganti menjadi sebaliknya. Bila menilik polanya, saya melihat ini sebagai "potensi baru" bagi perkembangan hidup di pedesaan.

***
Rindu akan kampung halaman, ketika mudik "tidak dianjurkan", menjadi sebagian curhatan Ibu-ibu di linimasa media. Tetapi, ada juga yang memaksakan diri untuk pulang ke kampung halaman mumpung belum dilarang.

Ketika di ibukota usaha sudah tidak menghasilkan, maka kembali ke desa bisa menjadi harapan. Daripada tidak bisa Lebaran, mending mudik lebih awal meskipun tidak sesuai jadwal.

Menurut saya, memikirkan desa bukan hanya tentang sebuah kerinduan tetapi juga mengenai masa depan. Mungkin, inilah saatnya bagi putra daerah yang sedang berkelana untuk menata kehidupan tempat kelahirannya.

Ketika terlintas pikiran jika kehidupan di kota sudah tidak lagi menjanjikan, maka mengerahkan energi untuk kembali ke desa bisa menjadi alternatif. Kami, orang desa bukan hanya merasa kekurangan dana tetapi kekurangan manusia unggulan yang bisa memanfaatkan potensinya.

Sebagaimana kita maklum, putra terbaik di suatu desa biasanya urbanisasi ke kota. Alhasil, di pedesaan kekurangan orang-orang yang mampu mengubah kondisi sekitarnya. Hampir semua merenda hidup di kota.

***
Buat saya, manusia pedesaan bukan sebagai "beban pembangunan", tetapi adalah potensi besar luar biasa yang dimiliki bangsa. Saya tidak melihat manusia sebagai "sumber masalah", tetapi manusia sebagai inspirasi bagi penyelesaian masalah.

Saya paham ketika situasi di pedesaan memang tidak menggugah banyak orang untuk memanfaatkan potensinya. Apalagi, jika di pedesaan tidak punya harta untuk dijadikan modal usaha.

Mari kita melihat manusia yang memiliki "pikiran" dimana itu adalah alat penghubung bagi masa kini dan masa depan. Otak kita bukan hanya alat penyimpan data, tetapi sebagai bekal luar biasa yang dianugerahkan  Tuhan untuk mengubah keadaan.

Dalam kondisi yang serba sulit, biasanya kita terangsang untuk menggunakan pikiran sebagai media penghubung dengan Tuhan. Disertai do'a, pikiran menerima ide-ide besar tentang bagaimana menikmati karunia Tuhan dalam setiap keadaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun