Cerita Siti Nurbaya, Film Titanic dan sinetron Orang Miskin Baru memiliki benang merah diantara ketiganya. Dilema seorang anak gadis yang harus "membayar" kehilangan harta orang tua dengan jiwa dan raganya.
Sebetulnya, saya nonton sinetron Siti Nurbaya jauh sebelum membaca novelnya. Ketahuan kan angkatannya?
Bagi Anda yang sempat menyaksikan sinetron Siti Nurbaya di TV dan membaca novelnya, tentu paham akan ungkapan, " ini bukan zaman Siti Nurbaya!". Sebuah kalimat yang menyiratkan akan dilema seorang perempuan dalam himpitan ekonomi keluarga.
Maklum, ketika Titanic dirilis, saya masih belum fasih membaca "subtitle"_apalagi Bahasa Inggris. Waktu itu lebih fokus menonton adegan tenggelamnya kapal dan adegan Rose dilukis oleh Jack Dawson (He...he...).
Beberapa kali menonton Titanic (dan tidak bosan) saya baru sadar jika ada pesan terselip tentang budaya kala itu dimana perempuan berada dalam situasi yang dilematis. Satu sisi dia harus menyelamatkan muka Bapa-Ibunya, dan di sisi lain dia tidak berdaya untuk mengikuti kata hatinya.
Di sinetron ini, cerita tentang seorang gadis yang harus "tergadai" karena himpitan ekonomi keluarga kembali diangkat. Nampaknya, Siti Nurbaya dan Rose punya "pengganti". Meskipun terkesan usang, kisah wanita dan harta keluarga tetap punya tempat tersendiri di hati pemirsa.
***
Bagi saya, cerita tentang wanita dan dilemanya ternyata bukan hanya milik rakyat Nusantara. Saya baru paham jika ini sudah menjadi milik Timur dan Barat.
Kehidupan dramatis dan juga romantis akan terus menghiasi dunia hiburan kita. Siti Nurbaya saja umurnya sudah hampir seabad, kalau ditambah sinetron dan film dengan cerita yang "mirip" maka tema wanita dan pengorbanannya akan berumur semakin panjang.
Entah kenapa, wanita suka menjadi 'objek penderita' dalam cerita film dan sinetron kita. Mulai dari kejamnya ibu tiri hingga pedihnya seorang istri karena suaminya kawin lagi.