Pak Jokowi tidak perlu gengsi untuk berbaikan dengan Habib Rizieq sebagaimana berbaikan dengan Pak Prabowo. Semua dilakukan demi meredakan ketegangan yang terus jadi bahan perbincangan.
Stereotip Sekelompok Orang yang Membangkang
Kelompok pengikut Habib Rizieq terlanjur memiliki stereotip sebagai "tukang protes". Sayangnya, streotip itu tidak berkonotasi positif karena sosok Habib Rizieq sendiri dianggap sebagai warga negara yang "bermasalah".
Keberadaan dia di luar negeri bukannya menghapus stereotip itu justru malah semakin menegaskan posisinya. Kelompok ini masih dipertanyakan 'niat'-nya yang suka mengkritik Pemerintah. Demi apakah?
Saya khawatir stereotip ini malah meluas ke setiap orang yang berpenampilan sama. Maksudnya, orang dengan nama "Habib" didepannya akan diposisikan sebagai orang yang bertipe keras dan "suka bermasalah". Celakanya, jika dakwah sudah sulit diterima masyarakat karena runtuhnya kepercayaan ummat pada Ulama.
"Ah, gua nggak percaya pada orang kayak Habib Rizieq.", mungkin begitulah stereotip yang disematkan. Padahal, tidak semua orang dengan penampilan sama memiliki karakter yang sama.
Stereotip seperti ini jelas merugikan kami sebagai ummat Islam di Indonesia. Dakwah yang disebarkan dengan cara yang lebih "elegan" bisa dianggap sama dengan cara Habib Rizieq menyatakan sikap. Kita tahu sendiri bahwa dia suka sekali memanfaatkan momen untuk kepentingan politik yang dilancarkannya.
Sikap politik Habib Rizieq yang "berpihak" atau berseberangan dengan Jokowi malah bisa dianggap sebagai representasi semua Ulama. Padahal, masih banyak Ulama yang bersikap netral dalam politik sehingga tidak mengundang kegaduhan.
Rangkul Habib Rizieq seperti Merangkul Prabowo
Nah, kegaduhan bangsa ini yang mesti kita hindari. Jika perdebatan mengundang perbaikan keadaan, itu harus dipelihara. Tetapi, perdebatan hanya sekedar membicarakan masalah yang "tidak substansial" mending kita hindari.
Habib Rizieq sering melontarkan wacana yang membuat kening berkerut. Ada apa ini?