[caption id="" align="aligncenter" width="333" caption="sandal jepit"][/caption] Bukan kebetulan bahwa sandal jepit mendadak menjadi tranding topic masyarakat Indonesia belakangan ini, disusul gerakan sosial yang fenomenal: gerakan mengumpulkan sandal jepit (gerakan yang dipelopori "Koin untuk Prita" dalam kasus perseteruan antara Prita Mulyasari dan RS Omni beberapa waktu yang lalu). Bahwa korbannya adalah seorang anak kecil, wakil kaum alit yang terjepit, juga bukan kebetulan semata.
Sandal jepit mengandung filosofi yang bolehlah kita coba gali dengan gaya utak-atik-ghatuk. Mari kita lihat bentuk alas kaki ini. Ia berbeda dengan sandal yang non-jepit. Sandal jepit menempatkan hanya dua "oknum" dari kesepuluh jari jemari kaki kita, yaitu ibu jari alias jempol kaki dan jari di sebelahnya--sebut saja wakil jempol kaki. Mereka berdua inilah yang bertugas menjepit sandal, sementara ketiga jari "menteri" kaki manut saja ke mana kaki melangkah. Sampai kapanpun, entah jika trend dunia persandalan mengalami revolusi, ketiga jari kaki itu tak akan bisa mengambilalih tugas penjepitan jempol kaki dan wakilnya.
Namun, selain menjepit, kesepuluh jari kaki kita juga menjalankan kondrat fungsionalnya terhadap sandal, yaitu menginjak. Sempurna sudah: menjepit dan menginjak. Dan sampailah kita kepada sebuah metafora yang cukup pas untuk menggambarkan situasi negeri kita, terutama akhir-akhir ini.
Republik Sandal Jepit ini kurang lebih berisi semangat menjepit dan menginjak yang tercermin dalam filosofi sandal jepit, seperti yang sudah kita bahas di atas. Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H