Munir Said Thalib merupakan aktivis HAM Indonesia. Kasus yang pernah ditanganinya adalah Kasus Araujo(1992), Kasus Marsinah(1994), Penasehat hukum korban tragedi Tanjung Priok(1984), Penasehat hukum korban Semanggi 1 dan 2
Perjuangan Munir dalam penegakan HAM juga mendatangkan tekanan dan teror diantaranya yaitu:Â
- Penyerangan kantor Kontras (2002)
- Pengeboman di pekarangan rumah Munir (2003)
- puncaknya yaitu Munir meninggal di dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, 7 September 2004. 2 jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di Bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal duniaÂ
Pada tanggal 12 November 2004, dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir pada saat itu.Â
Pada 20 Desember 2005 Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik dalam makanannya karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir.Â
Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Pengadilan juga memberikan vonis 1 tahun penjara kepada Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan.
Pada 19 Juni 2008, mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Pada 13 Desember 2008, Muchdi Purwoprandjono yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, divonis bebas dari segala dakwaan.
Komite Aksi Solidaritas untuk Kasus Munir (KASUM) dan berbagai organisasi masyarakat sipil meminta Komnas HAM untuk segera menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. KASUM telah menyampaikan opini hukum perkara kematian Munir kepada Komnas HAM pada September 2020. Pada intinya mereka menegaskan bahwa pembunuhan aktivis HAM itu adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.Â