Mohon tunggu...
Ulis syifa Muhammadun
Ulis syifa Muhammadun Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Sukabuku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialektika Modern Teologi Islam (Rekonstruksi Teologi Islam)

14 Desember 2024   16:07 Diperbarui: 14 Desember 2024   16:07 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Agama merupakan sebuah keyakinan yang ada dalam diri manusia. Ajaran-ajaran dalam agama yang berlandaskan kepercayaan terhadap manifestasi ketuhanan atau ilahiyyah. Dalam pembacaan dan pembelajaran mengenai ajaran keberagamaan, teologi adalah hal paling mutlak untuk dipelajari mengenai keyakinan dan kepercayaan, yang pada intinya merupakan sebuah dialektika kompleks mengenai wujud, dimensi, maupun siapa tuhan itu sendiri. Kajian teologi klasik setidaknya memiliki delapan objek kajian, yakni; esensi, atribut, penciptaan, baik-buruk, kenabian, ma'ad, iman dan amal, dan kepemimpinan.

Doktrin-doktrin tersebut ssudah tidak relevan dengan zaman menurut kaum muslim modernis. Kajian teologi dalam Kalam gagal karena ulama masa lalu tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai yang humanitik. Karena itu, muncul keterpecahan umat dalam keimanan teoritik dan amal praktisnya. Para intelektual muslim modern kemudian memberikan respon dalam rangka memberikan solusi terhadap dinamika perkembangan zaman. Hal ini tentu saja tidak mudah mengingat vakumnya perkembangan keilmuan sampai dimasa kontemporer. Hal ini dilatari beberapa problem seperti ilmu-ilmu modern yang dipengaruhi oleh barat dianggap membawa sekulerisme dan berdampak negatif. Serta keilmuan keislaman yang dirasa terlalu teosentris sehingga kurang responsif terhadap perkembangan zaman dan menimbulkan kejumudan. Sehingga para intelektual ini menawarkan konsep-konsep seperti Islamisasi ilmu dan Humanisasi ilmu-ilmu keislaman.

Kerangka Paradigmatik Teologi Islam

Nasihun Amin dalam bab awal memaparkan konsep dogmatik yang ada dalam teologi Islam klasik yang tidak dapat lagi dijadikan pandangan-pandangan yang benar-benar hidup dan memberikan motivasi Tindakan dalam kehidupan konkret umat manusia. Secara praksis, teologi klasik gagal menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslimin. Kegagalan semacam itu disebabkan karena penyusun teologi yang tidak mengaitkan-nya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya dikalangan umat.

Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan, dan perbuatannya. Keadaan semacam itu akan melahirkan sikap-sikap moral ganda, atau sinkretisme kepribadian. Fenomena sinkretis ini tampak dalam kehidupan saat ini yang dalam kultur keagamaannya dan sekulerismenya, kemudian antara tradisionalism dan modernism, antara timur dan barat, serta antara konservatisme dan progresivsm, antara kapitalisme dan sosialisme. Pemahaman yang kaku, akan tidak bisa mengikuti laju perkembangan dan kebutuhan hidup manusia karena tersekat dengan sangat ketat. Elitisme hanya mampu memberikan jawaban-jawaban kepada sekelompok kecil umat manusia. Fatalisme tidak akan dapat memberikan gairah, etos kerja dan dinamika dunia yang harus selalu berubah dan berkembang. Secara keseluruhan, sistem Teologi Islam tersebut menjadi mandul dan tak mampu menjawab persoalan aktual dan eksistensial manusia.

Rekonstruksi Teologi Islam

Dalam buku ini, Nasihun Amin memaparkan dua sarjana muslim modern yang memiliki pandangan progresif dalam rekonstruksi Teologi Islam yakni, Hassan Hanafi dan Ali Ashgar Engginer. Hassan Hanafi menawarkan sebuah gagasan "Teologi Transformatif" atau disebut oleh Amin Abdullah sebagai "Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman." Menurut Hanafi, Teologi haruslah difungsikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, utamanya dengan membangun landasan epistemologi yang baru. Tujuan rekonstruksi Teologi Hanafi adalah menjadikan Teologi tidak sekadar sebagai dogma-dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.

Ali Asghar Engineer sendiri merumuskan "Teologi Pembebasan." Sebagai rumusan pemikiran manusia, Teologi Islam harus dinamis dan kreatif. Manusia, berbeda dengan Iqbal yang menyebut sebagai co-creator, bagi Asghar, adalah kolaborator Tuhan dalam proses aktivitas kreatif.  Karenanya Teologi Islam sebenarnya, sebagaimana dinyatakan al-Qur'an sendiri, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang sewenang-wenang. Pernyataan al-Qur'an dalam hal ini sangat jelas "kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apapun pada sunnah Allah." Bahkan pahala dan siksa Tuhan bukan atas dasar tindakan atau kehendak tuhan yang sewenang-wenang. Al-Qur'an menyatakan "Tidak ada sesuatu pun bagi manusia kecuali yang diupayakannya. Tentu saja taufiq Allah tidak ditolak tetapi hal itu tidaklah sewenang-wenang. Taufiq, yang tidak lain merupakan pertolongan, petunjuk dan bimbingan menuju kesuksesan, dalam pelaksanaannya bergantung pada dua hal, yaitu usaha seseorang dan kesesuaian dengan sunnatullah yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah. Karena itu, menurut Asghar, dalam Teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan tuhan, yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena manusia adalah agen yang bebas.

Sebagaimana layaknya sebuah produk pemikiran, kedua teologi ini bermaksud memberikan nuansa baru. Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakannya, secara konseptual, Teologi ini kelihatan sekali ingin memasukkan, bahkan menjadikan pusat pembahasannya, unsur manusia dan realitas empirisnya dalam teologi, mendampingi Tuhan dan realitas metafisikanya. Ini dilakukan, karena dalam pandangannya teologi yang ada terlalu transendental-spekulatif sehingga tak mampu memecahkan problem aktual-eksestensial manusia. Dengan memasukkan unsur manusia diharapkan teologi menjadi reflektifsosiologis. Ada semacam ambisi untuk mengubah teologi menjadi teo-antropologi.

Teoantropologi

Teologi bukan lagi semata-mata wacana tentang Tuhan, melainkan juga tentang manusia. Tentu saja idealitas yang diajukan ini dipengaruhi oleh sedemikian banyak faktor sehingga melahirkan pemaknaan ulang terhadap berbagai konsep. Hal ini mengingat aktivitas intelektual apapun bukanlah aktivitas yang terpisahkan dari watak problematika sosial yang menyibukkan manusia sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, tidaklah mungkin memandang pemikiran seseorang sebagai pemikiran yang menggelayut di kekosongan dan tidak mungkin pula memperlakukan "fakta-fakta" yang dirumuskan oleh pemikiran tersebut sebagai fakta-fakta alamiah yang tidak dapat diperdebatkan atau ditolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun