Sejak pandemi Covid-19, perkembangan dunia digitalisasi di Indonesia meningkat secara signifikan. Distribusi informasi di media maya pun membanjiri secara masif. Hal ini ditandai dengan kehidupan sosial masyarakat yang semula berinteraksi secara langsung, sekarang dapat dilakukan dengan jarak jauh berkat efisiensi yang disebabkan oleh digitalisasi. Tidak sampai di situ, era revolusi industri sudah tidak terdengar asing di telinga akademisi, pemangku kebijakan public, serta ekonom. Karena dalam perkembangannya, era ini selalu dikaitkan dengan pesatnya kemajuan teknologi, baik revolusi industri 3.0, 4.0 sampai dengan era society 5.0. Pasalnya, era ini berkaitan erat dengan perubahan yang berbasis Internet of Things (IoT). Shinzo Abe menjelaskan dalam Word Economic Forum (WEF), bahwa era ini bukan lagi soal modal, akan tetapi sebuah data besar yang mengubungkan dan menggerakan semua hal, baik dalam sektor pendidikan, kedokteran, bahkan konteks sosial-masyarakat (Puspita dkk., 2020). Dengan demikian, era yang sekarang kita jalani merupakan hasil dari perkembangan teknologi, di mana era society 5.0 teknologi dan manusia adalah bagian yang integral.Â
Internet bukan hanya sarana untuk mencari informasi. Namun, digunakan untuk menjalani aktivitas kehidupan manusia. Meningkatnya distribusi informasi yang semakin pesat, hal ini berimplikasi pada pola pikir dan perilaku masyarakat yang terus mengkonsumsi informasi setiap harinya. Hasil survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai di angka 51,8% (132,7 Juta dari 256,2 juta populasi penduduk Indonesia). 47,6% penduduk mengakses internet melalui perangkat Gadget (Putu, 2020). Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), data survey Susenas 2022 menunjukan penduduk Indonesia yang mengakses internet mencapai 66,48%. Hal ini menjadi akar terefleksinya iklim keterbukaan infomasi serta perkembangan teknologi yang diterima masyarakat dan revolusi masyarakat informasi . Sehingga demikian, seiring meningkatnya distribusi informasi yang kian masif, masyarakat sangat mudah terpapar berbagai infromasi yang dikonsumsi dari aktivitasnya di internet.
Tentunya masyarakat yang dapat mengakses internet sudah tidak asing lagi dengan teknologi komunikasi yang menjadi pusat distribusi informasi di media sosial, seperti: Facebook, Whatsapp, Twitter, Instagram, Tiktok atau bahkan platform lain. Dalam perkembangannya, dampak positif yang diberikan cukup banyak. Namun, bukan berarti hanya sedikit dampak negatif yang dihasilkan dari perkembangan teknologi ini, justru dengan eksistensi teknologi komunikasi meningkatkan probabilitas disinformasi, misinformasi, hoaks, post truth dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia sebelum pelaksanaan pemilu serentak 2023-2024. Dilansir dari laman Times Indonesia, hasil temuan Komite Litbang Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menunjukan adanya peningkatan jumlah penyebaran hoaks pada tahun 2024 dari Bulan Januari-Juli, terindikasi 2.119 hoaks dan setengahnya (48,9%) bertema politik, persentase ini mencapai hampir dua kali lipatnya dibanding 2023 yang mencapai 1.185 dan hampir mendekati semua total penemuan sepanjang tahun, yaitu sejumlah 2.330 hoaks (Fikyansyah, 2024). Demikian juga post truth yang beredar secara masif dalam kemasan video di konten sosial media. Penggiringan opini secara emosional ini berimplikasi pada kesadaran masyarakat yang menurun, bahkan berpengaruh pada maraknya ujaran kebencian yang spekulatif dan tidak berdasarkan fakta atau realitas sosial.
Tidak berhenti sampai di situ, pengaruh yang dihasilkan dari penyebarluasan informasi di media sosial menjadi salah satu hal yang perlu diantisipasi, hal ini yang juga yang menghasilkan gerakan-gerakan radikalisme, ekstrimisme, bahkan terorisme melalui aktivitas di internet. Dilansir dari laman antaranews.com Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI mengidentifikasi sejumlah gerakan radikalisme lewat media sosial. Ditemukan sebanyak 2.670 konten digital yang memuat IRET (Intoleransi, radikalisme, esktremisme, terorisme) sepanjang tahun 2023. Disamping itu Mohammed Rycko Amaleza Dahniel selaku kepala BNPT RI Komisaris Jenderal Polisi jaringan teroris global masih melaksanakan aksi terorisme serta jaringan terorisme dalam negeri juga masih terindikasi aktif dalam melakukan propaganda dengan melalui berabagai aktivitas yang dapat diketahui berdasarkan jumlah penangkapan tersangka teroris sepanjang tahun 2023 sebanyak 148 orang (Fikri, 2023). Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Badan Intelejen Negara (BIN) (dalam Ali dkk., 2021), menunjukan indikasi mahasiswa yang terpapar mengikuti gerakan radikalisme sekitar 39% dan tiga institusi perguruan tinggi menjadi cikal bakal basis penyebaran pemahaman radikal terhadap mahasiswa. Namun, idetitasnya masih belum diinformasikan.
Berdasarkan data tentang dampak negatif yang dihasilkan oleh teknologi informasi di atas, maka diperlukan upaya intensif yang dapat mencegah dampak tersebut. Dalam hal ini, mahasiswa yang masih dalam tahap pencarian identitas dan jati diri kerap kali mudah terombang-ambing paham-paham yang dogmatif. Sehingga mahasiswa menjadi sasaran empuk bagi kelompok radikal dalam menginternalisasi ideologinya. Terlebih, perguruan tinggi adalah kumpulan pelajar multikultural. Artinya, kehidupan sosial mahasiswa adalah orang-orang yang memiliki latar belakang agama, budaya, dan pemikiran yang berbeda. Heterogenitas sosial ini apabila tidak diurusi dengan baik dengan menciptakan kohesi sosial, maka dapat menimbulkan pergesekan terhadap komunal maupun individu yang termarginalisasi yang dipengaruhi oleh kelompok tertentu. Oleh karena itu, dalam hal ini moderasi beragama menjadi instrumen utama untuk diinternalisasikan. Moderasi beragama yang terintegrasi dengan literasi informasi menjadi sebuah konsep penting yang harus teraplikasikan di setiap aktivitas mahasiswa, sebagai antithesis dari paham radikal yang menyebar luas secara masif di berbagai saluran informasi. Selanjutnya, pertanyaannya bagaimana perguruan tinggi berperan dalam memberikan pendekatan literasi informasi berbasis moderasi beragama bagi mahasiswa mulitkultural?
Literasi Informasi Berbasis Moderasi Beragama
Literasi informasi pertama kali dicetuskan oleh Paul Zurkowski, yang menyatakan bahwa individu yang memahami informasi adalah individu yang terlatih dan mampu mengimplementasikan sumberdaya di dalam pekerjaannya (Wahyudi & Kurniasih, 2021). Literasi informasi kerap kali disebut dengan "melek informasi" yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengakses informasi, memverifikasi, dan memanfaatkan informasi dengan baik. Menurut American Library Association (ALA), menjelaskan bahwa literasi informasi merupakan kemampuan yang sangat diperlukan bagi individu untuk mampu mengenali waktu yang tepat informasi yang dibutuhkan, serta dapat mengevaluasi dan menggunakan informasi secara efektif (Daryono, 2017). Dalam pencegahan radikalisme, literasi infromasi menjadi sebuah gerakan untuk mampu memilah informasi yang akurat dengan memverifikasi sumber yang memiliki kredibilitas. Sehingga tidak terpapar oleh propaganda maupun berita-berita dengan narasi yang ekstrem. Literasi informasi yang terintegrasi dengan nilai-nilai moderasi beragama berperan sebagai penyeimbang di tengah bias penyebaran arus informasi. Oleh sebab itu, mahasiswa yang notabenenya adalah masyarakat majemuk (multikultural) perlu dilatih untuk memahami peredaran informasi di internet yang kerap kali jadi makanan sehari-hari. Mereka harus dilatih untuk menganalisis konten dan memahami konteks informasi, terutama dalam konteks isu agama mauapun ideologi.
Sebuah studi yang dilakukan oleh UNESCO 2016, menunjukan bahwa pendidikan literasi digital dapat mengatasi perilaku radikalisme dan ekstremisme yang terjadi di internet. Hal ini dikaitkan dengan nilai-nilai moderat yang dapat menangkal kerentanan generasi muda terhadap radikalisme.Â
Penanaman literasi informasi dalam mengatasi radikalisme dimuat dalam buku tahunan yang berjudul "Media and Information Literacy: Reinforcing Human Rights, Countering Radicalization and Extremism." Sebagai Kerjasama antara UNESCO, UNITWIN Cooperation Programme on MILID, the United Nations Alliance for Civilizations (UNAOC), dan the Global Alliance for Partnerships on Media and Information Literacy (GAPMIL). Buku ini menawarkan perspektif di media dan literasi informasi (MIL) dari seluruh dunia. Isi dalam buku ini diklasifikasi menjadi beberapa bagian; Pemberdayaan masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan; Ujaran Kebencian dan Hasutan; Radikalisasi dan Ekstremisme; Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender; dan Wacana Antar-Agama dan Antar-Budaya di Media (UNESCO, 2016).
Dalam konteks ini, penting untuk mengantisipasi gerakan-gerakan radikalisme yang dapat diatasi dengan literasi informasi berbasis moderasi beragama. Moderasi beragama menjadi peran penting dalam konteks ini, karena nilai-nilai yang terkandung dalam moderasi beragama menekan pentingnya memahami esensi ajaran agama sebagai sumber perdamaian dan kasih sayang, menjadi penengah di antara perbedaan, dan sebagai alat untuk mencegah radikalisme. Ajaran-ajaran agama sejatinya mengajarkan perdamaian dan kebajikan yang dipahami serta diaplikasikan secara kontekstual seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana dalam Indikator moderasi beragama terbagi menjadi 10 prinsip, yakni di antaranya: 1) Tawasuth, 2) Tawazun, 3) Tasamuh, 4) I'tidal, 5) Musawah, 6) Syura, 7) Islah , 8) Aulawiyah, 9) Tathawur wa Ibtikar, dan 10) Tahadhur. Semua prinsip tersebut termuat dalam konsep Wasathiyah yang memiliki makna jalan tengah atau mengambil sikap tengah (Ardhana, 2023). Hal ini yang menjadi instrumen penting dalam menginternalisasikan peran mahasiswa dalam menjawab tantangan zaman yang rentan terhadap gerakan dogmatif dan radikal. Oleh karena itu, mahasiswa perlu diinternalisasikan dengan konsep literasi informasi berbasis moderasi beragama dalam menjawab tantangan radikalisme. Maka, perguruan tinggi berperan sangat penting dalam membangun kesaadaran ini.
Dalam pendekatannya, beberapa hal yang dapat menjadi upaya solutif dan konkret oleh perguruan tinggi terhadap mahasiswa multikultural di antaranya:
1. Integrasi kurikulum pendidikan moderasi beragama dan kegiatan perkuliahan yang mencakup nilai-nilai moderasi beragama.
Dalam hal ini, integrasi kurikulum mencakup mata kuliah yang mengajarkan critical thingking terhadap informasi, terutama isu yang berakaitan dengan ideologi ataupun agama. Selain itu, kegiatan perkuliahan seperti seminar ataupun workshop yang berbasis nilai moderasi beragama dapat dengan mudah terinternalisasi di ruang akademik mahasiswa. Hal ini juga merupakan upaya kampanye terkait narasi moderasi beragama.
2. Edukasi dan pelatihan informasi digital.
Edukasi atau pelatihan ini adalah upaya optimalisasi kecerdasan literasi mahasiswa dalam meningkatkan kapasitas intelektualnya. Perguruan tinggi berperan menjadi fasilitator terhadap mahasiswanya untuk membentuk karakter dan membangun kecakapan dalam memverifikasi informasi.
3. Penguatan komunitas literasi berbasis moderat di lingkungan kampus.
Komunitas literasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kapabilitas intelektual mahasiswa untuk mampu bereksplorasi melalui buku bacaan, kepenulisan, serta diskusi. Komunitas ini dapat menjadi peran penting bagi mahasiswa untuk membangun kebiasaan dan menormalisasi kegiatan literasi dilingkungan yang multikultural. Memungkinkan adanya dialog antar keberagaman sehingga dapat mengatasi aktivitas radikalisme.
Berdasarkan uraian di atas, pendekatan terpadu literasi informasi berbasis moderasi beragama menawarkan sebuah solusi strategis dalam menghadapi tantangan aktivitas radikalisme, ekstrimisme, dan intoleransi yang terjadi terhadap kemajemukan di lingkungan akademik. Dengan mengoptimalisasi peran mahasiswa dengan kemampuan literasi informasi dan memperdalam pemahaman terkait moderasi beragama, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agent of change untuk mendorong perdamaian, toleransi, dan dialog antar agama, budaya, suku, dan ras. Langkah integratif ini apabila diimplementasikan secara konsisten. Akan mencipatakan lingkungan akademik yang inklusif. Oleh karena itu, sebelum merealisasikan hal ini, diperlukan pendekatan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan penguatan literasi informasi berbasis moderasi beragama.