(Review Atas Buku The Art Of Communication Karya Muchlis Anwar)
Bermula dari insting lama yang kumat kembali, jadilah saya memilih mojok di salah satu booth Kompasianival yang dihelat beberapa waktu lalu di TMII. Booth milik KPK (Kompasianer Penggila Kuliner) itu menawarkan kudapan gratis. Dan yang lebih spesial, salah satu kudapan yang dihidangkan itu adalah Es Pisang Ijo, makanan kegemaranku ketika dulu menetap di Sulawesi Selatan.
Di booth itu rupanya menjadi tempat berkumpulnya beberapa orang—yang aku duga—juga punya insting yang sama denganku: sama-sama pemburu kudapan gratis. Sekelebat melempar senyum untuk sekedar menyapa, selanjutnya kami menikmati Es Pisang Ijo buatan Bang Nur Terbit & Bunda Sitti Rabiah yang rasanya tak jauh beda dengan asalnya di Makassar.
Seorang pria yang menenteng kamera, membidik pose kami yang sedang makan sambil mengeliling booth. Lalu seorang pria perawakan sedang, mendekatiku lalu meminta pria yang menenteng kamera untuk mengabadikan pose kami. Kami saling tersenyum ramah, tapi tak sempat bertegur sapa. Es Pisang Ijo itu terlalu enak dinikmati sehingga melewatkan kami untuk bertegur sapa.
Sore hari, status facebook ku mengirim notification yang muasalnya dari Yusran Darwaman, teman karibku yang mengomentari sebuah foto. Foto itu rupanya diposting oleh pria si penenteng kamera, yang belakangan aku tahu bernama Syaifuddin Suyuti. Belakangan pun aku tahu, orang yang berfoto di sampingku bernama Muhlish Anwar, yang namanya di facebook diubah ala nama Scandinavia: Ulish Anwar.
Jadilah, di wall facebook milik Syaifuddin Suyuti itulah tutur sapa pertama kami justru terjadi dan undangan pertemanan via facebook dikirimkan. Kami pun menjadi teman di dunia layar datar yang dikendalikan oleh jempol dan jemari itu.
****
Kemarin malam, sepulang dari kantor, saya dapati paket beramplop cokelat yang ditujukan kepadaku. Aku buka, dan didalamnya aku temukan sebuah buku bersampul cerah, judulnya: The Art Of Communication. Pengirim dan pengarang buku ini adalah orang yang beberapa waktu lalu berfoto denganku di booth pisang ijo gratis: Muslish Anwar.
Kali ini bukan soal buku gratis yang membuat saya bahagia, sebab bagi saya, kecerdasan dan kreatifitas selayaknya untuk dihargai mahal. Buku sebagai buah karya kecerdasan dan kreatifitas, selayaknya untuk dibeli, dan bukan diperoleh dengan gratis.
Ketika beberapa waktu lalu di wall facebook Bang Ulish Anwar dipamerkan sebuah buku hasil buah karyanya, jempol jemari saya reflek untuk mengucapkan selamat, dan bermaksud untuk menanyakan harganya untuk membeli. Tapi Bang Ulish justru menjawab, “gak usah mas, ini tanda perkenalan dan persahabatan saya,” jawabnya.