Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

China dan Cerita Sebuah Kota

20 Oktober 2015   13:50 Diperbarui: 20 Oktober 2015   14:31 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa jadinya sebuah kota tanpa Pedagang China?

Ketika minggu lalu menjejak kota Tidore, sebuah kota yang menyimpan serentang sejarah panjang di gugusan kepulauan Maluku Utara, saya nyaris tak menemukan aroma kota di sepanjang jalan yang saya susuri.

Kantor Walikota yang berdiri megah di jantung kota, justru terkesan seperti tak bertuan. Di tengah kota, tak nampak gegas orang dan kendaraan yang berlalu lalang mencari penghidupan. Pasar dan deretan pertokoan tak panjang juga sepi dari pelanggan. Untuk mencari restoran atau warung untuk santap siang juga tak banyak pilihan. Kota ini benar-benar sepi.

Padahal, kota Tidore bukalah kota yang kemarin sore berdiri. Kota ini bahkan telah termashyur berabad-abad sebelum Majapahit berdiri. Kota ini juga menjadi bandar yang ramai disinggahi berbagai suku dan bangsa, serta pernah menjadi penguasa hampir seluruh wilayah Nusantara di bagian timur. Para pelancong dan pedagang dari Arab, India, Portugis, Spayol, dan Inggris telah lalu lalang sejak berabad lewat untuk mencari rempah-rempah yang bernilai mahal.

Tidore juga pernah menjadi Ibukota Propinsi Irian Jaya pada masa konfrontasi Pembebasan Irian Barat, sebelum akhirnya Belanda menyerahkan Irian Jaya ke pangkuan Pertiwi. Bung Karno, sebelum tahun 1960 bahkan 2 kali berkunjung di kota ini, untuk menegaskan begitu strategisnya Kota Tidore dalam sejarah perjuangan Indonesia.

“Beginilah Tidore Mas, sepi,” ujar teman yang memanduku berkeliling kota Tidore.

“Sepi banget ya, padahal statusnya Kotamadya,” kataku agak heran.

Jika dibandingkan dengan Kota Ternate yang hanya dipisahkan oleh selat sempit, Tidore memang tertinggal. Dua kota bertetangga ini tak tumbuh bersama-sama. Ternate bergeliat cukup pesat, sementara Tidore seperti kota yang terlelap.

“Ini karena Tidore gak ada pedagang China. Mereka meningalkan Tidore pasca kerusuhan berbau SARA beberapa tahun silam,” kata temanku menjawab keherananku tadi.

“Lho, apa hubungan pedagang China dengan Tidore yang sepi?” cecarku.

“Kota yang tidak ada pedagang China biasanya ekonominya tidak berkembang. Itu makanya Tidore gak berkembang ekonominya,” jawabnya lugas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun