Dalam pemahaman Islam saya yang dangkal, Islam sebagai sebuah agama  sangat menjunjung tinggi aneka budaya dan adat istidat setempat. Nabi  tak pernah menyuruh kita menjadi Bangsa Arab. Nabi hanya menyuruh kita  menjadi Islam. Dan Islam sebagai agama, jelas berbeda dengan Arab  sebagai sebuah bangsa dan budaya.Â
 Tuhan sebenarnya telah  menegaskan itu di Al Quran. Jika berkehendak, bisa saja Tuhan  menciptakan manusia sebagai satu bangsa dan satu suku. Tetapi, justru  Tuhan menciptakan anak keturunan Adam ini dengan suku-bangsa yang  berbeda. Surat Al Hujarat Ayat 13 menegaskan itu: Hai manusia,  sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang  perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya  kamu saling mengenal.
 Lalu timbul pertanyaan yang menggelitik:  lantas apakah penyebutan Muhammad yang berbeda itu termasuk dosa atau  bid'ah? Atau pertanyaan dengan konteks yang lebih luas, apakah asimilasi  dan akulturasi budaya setempat kedalam ajaran Islam, sebuah perkara  bid'ah dan diharamkan?
 Agak miris, karena sering kita dapati  sekelompok umat Islam yang sangat tekstual dalam memahami Islam.  Mereka  sangat mudah menuding bid'ah kepada kelompok lain yang tidak  sepamahaman atas tafsir terhadap teks Al Quran dan Hadist. Bahkan  tuduhan kafir kerap pula dilontarkan. Padahal, kelompok yang dikafirkan  itu masih bersyahadat, rukun Iman dan Islam pun tetap dijalankan.  Â
 Pangkal perbedaannya sungguh remeh-temeh, dan kadang tak substansial;  bersalaman setelah sholat jamaah; dzikir dengan menggunakan tasbih;  tahlilan di hari kematian; atau perayaan maulid nabi adalah  perkara-perkara yang dituding bid'ah dan pelakunya dianggap telah  berdosa.  Â
 Padahal, sekali lagi, Islam dan Arab adalah hal yang  berbeda. Ambil contoh, dalam sejumlah riwayat, kita sering dapati Nabi  Muhammad memanggil sahabat-sahabatnya dengan panggilan nama langsung,  tanpa embel-embel apapun. Begitu pula sahabat lain yang memanggil Abu  Bakar, Usman, Umar atau Ali dengan nama pemberian orang tua mereka.  Dalam budaya Arab, memang lazim orang menyebut nama tanpa embel-embel  apapun.Â
 Tapi budaya di Nusantara, akan dianggap tidak sopan  bahkan kurang ajar, jika kita memanggil orang yang lebih tua atau yang  lebih tinggi derajatnya tanpa embel-embel Bapak, Kak, Bang, Mas atau Om  misalnya. Jangankan ke yang lebih tua. Ke yang usianya lebih muda saja,  kita dianjurkan untuk menambahkan sebutan adek atau dinda.
 Itulah mengapa di sejumlah budaya, nama Nabi Muhammad diimbuhi Kanjeng Nabi atau Syadina Muhammad.Â
 Benar, memang ada riwayat yang menyebut Nabi menolak dipanggil dengan  nama-nama bernada kebesaran. Tujuannya untuk menghidari kultus  berlebihan, sebagaimana umat-umat terdahulu yang mengkultuskan  nabi-nabi.Â
 Namun konteks penyebutan Kanjeng Nabi atau Syadina  Muhammad dalam budaya Jawa misalnya, sama-sekali tak bermaksud untuk  mengultuskan nabi. Gus Muwaffiq, salah satu Kyia yang mukim di Jogja  pernah menyinggung soal ini, "Orang Jawa manggil tukang bakso saja  dengan sebutan Mas, masak manggil Nabi dengan nama langsung. Makanya,  orang jawa manggil Kanjeng Nabi atau Syadina Muhammad sebagai bentuk  penghormatan".
 Nah, apakah karna itu, praktek penyebutan Syadina Muhammad dicap bid'ah seperti yang pernah ditudingkan?