Tolong ngacung jari telunjuk, siapa yang sewaktu kecil tak bikin gaduh Mesjid? Mungkin saja ada; kalau bukan karna “anak super baik”, bisa jadi karna sewaktu kecil jarang menginjak kaki di Mesjid.
Iseng, aku coba ajukan pertanyaan ini ke beberapa kawan yang kini nyaris tak lepas 5 waktunya berjamaah di Mesjid. “Dulu sampeyan waktu kecil pernah bikin ricuh di Mesjid gak?” tanyaku.
Sambil terkekeh, teman ini menjawab, “Walah..hampir semua kericuhan di Mesjid pernah saya lakukan,” katanya sambil mengenang. Kalau sekedar guyon dan cekikan sewaktu sholat, menurutnya sudah lazim. Jika isengnya kambuh, kala sholat jamaah, dengan sengaja dia menjatuhkan diri ke samping, sehingga sederet satu shaf terjengkang jatuh. Dan akibat kebadungan itu, dia “dihukum”: mengulang sholat sebagai imam.
Kapok? Gak ternyata..Kelakuan ini diulangi lagi di lain hari.
Modus lainnya—dan sepertinya hampir semua bocah pernah lakukan: berteriak AMINNNN dengan suara kencang dan panjang melebihi suara penjual obat di pasar, setelah Imam membaca Surat Al Fatihah. Atau modus lain; sengaja batuk bertubi-tubi padahal tak lagi sakit tenggorokan. Lalu, seperti kode berantai, suara batuk itu menular bak penyakit ke anak lainnya, sehingga riuhlah Sholat jamaah itu dengan suara batuk bertalu-talu. Mesjid pun berubah seperti Rumah Sakit khusus pasien TBC.
Begitulah suasana Mesjid ketika bocah usia tanggung berkumpul jadi jamaah. Suasana khusuk saat sholat berjamaah, bisa dibuat buyar oleh “keisengan” anak-anak akil baliq itu. Dan rupanya, suasana ini merata terjadi di mana saja. Teman dari Padang, Makassar, atau Bandung juga berkisah yang sama. Dan anehnya, “keisengan” yang mereka lakukan, bentuknya relatif serupa alias itu-itu juga.
Baru-baru ini, saya diceritakan kejadian heboh di sebuah Mesjid di Ciputat kala Sholat Jum’at. Sewaktu Imam membaca ayat terakhir Surat Al Fatihah; Ghoiril magdu bialahim walladdholim, sebelum jamaah lain mengucap amin, tiba-tiba dari barisan belakang, seorang bocah teriak dengan suara lantang: “Semua bilang apaaaa?”. Karuan saja seisi Mesjid riuh dengan cekikikan jamaah yang tak mampu menahan tawa.
Baiklah…cukup ya ketawanya!
Menurut saya, tak ada multi tafsir dalam Islam soal fungsi Mesjid. Semua satu faham dan bulat sepakat, bahwa Mesjid adalah tempat sakral untuk beribadah kepada Sang Khalik. Mesjid bukan tempat bermain atau tempat bersendau gurau. Sejatinya, di Mesjid-lah kita berharap, komunikasi kita yang paling sakral dan intim dengan Tuhan, dapat kita panjatkan.
Tapi lantas, bagaimana jika kekhusukan itu nyaris buyar karena hadirnya jamaah cilik yang justru bikin gaduh Mesjid? Mestikah kehadiran bocah-bocah itu dibatasi, atau malah dilarang nongol di Mesjid?
Saya tak punya kapasitas untuk membuat fatwa, karena awamnya pengetahuan agama saya. Tetapi, kerap saya dapati di sejumlah Mesjid, kehadiran anak-anak ini, seperti “momok” yang tak diharapkan kehadirannnya. Mereka dikucilkan disertai ancaman akan dihukum jika membuat ricuh. Bahkan, ada pemahaman yang menyatakan Mesjid harus “steril” dari anak-anak yang belum akil baliq. Kehadiran mahluk kecil ini dikuatirkan merusak sakralitas dan kekhusukan ibadah. Maka jadilah, mesjid itu tempat yang hening dari suara riuh anak-anak kecil.