Banyak nama digadang dan disodorkan kala itu, mulai dari politisi ulung, tokoh masyarakat terkenal, pengusaha kaya, akademisi cerdas, serta tokoh agama berpengaruh. Ini Surabaya Bung! Di kota ini telah lahir begitu banyak orang hebat serta tokoh terkenal yang berkiprah di kancah nasional dan interasional. Tak sulit mencari orang yang bisa menjadi Surabaya 01.
Tapi kenapa justru pilihan jatuh ke sosok Risma? Kenapa perempuan biasa-biasa saja itu yang disodorkan sebagai Calon Walikota Surabaya.
Disinilah orang mulai mengendus maksud di balik skenario ini. Banyak orang menduga, Bambang DH dan politisi PDI-P sengaja menunjuk Risma sebagai “Boneka” yang diplot sebagai Walikota. Risma dianggap sosok perempuan yang tak akan neko-neko dan bakal mudah disetir arah kebijakannya. Lagipula, Bambang DH lah yang menunjuk dan melantik Risma sebagai Kepala Dinas. Risma adalah “anak kandung” Bambang DH.
Tapi siapa nyana, jalan nasib yang diundak Risma, seperti roda pedati yang berputar cepat. Hanya beberapa saat setelah Risma terpilih sebagai Walikota Surabaya pada 2010 silam, setir roda Pemerintahan Surabaya ternyata langsung dipegang dan dikendalikan sendiri oleh Risma; tak diserahkan ke orang lain!
Risma bergerak cepat dan lincah untuk memperbaiki dan menata kota Surabaya menjadi kota yang indah, bersih, apik dan rapi. Dalam hal pelayanan ke masyarakat, Risma juga banyak melakukan pembenahan. Sarana publik yang kumuh, disulap menjadi menarik, dan akses jalan dibenahi untuk memperlancar geliat ekonomi.
Risma tak canggung untuk membuat berbagai gebrakan dan kebijakan baru yang bahkan kerap berseberangan dengan kebijakan walikota Surabaya sebelumnya, yang notabene adalah “bapak kandungnya”. Bahkan, Risma pun tak sungkan untuk berbenturan dengan para politisi di DPRD Surabaya yang dikuasai oleh Partai pengusungnya.
Soal ini Risma pernah berdalih, “Begitu saya jadi Walikota, saya adalah Walikota semua warga Surabaya. Bukan lagi Walikota dari Partai tertentu,” begitu suatu waktu Risma berujar.
Karuan saja, kiprah Risma membuat gerah para politisi PDI-P Surabaya dan Jawa Timur. Risma dianggap tak memberikan kontribusi bagi partai. Risma juga dianggap “durhaka” terhadap kebijakan partai. Dan, kesalahan ini bak dosa tak terampuni.
Risma pun digoyang dengan hak intrepelasi yang justru dirancang dan disokong oleh Partai yang mendapuknya: PDI-P. Alasannya: Risma dituduh membuat kebijakan yang melanggar prosedur—klasik sekali bukan?
Tetapi, warga Surabaya yang selama hampir 2 tahun sejak dipimpin Risma merasakan perubahan pelayanan serta tata kota yang makin apik dan asri, balik menjadi “tameng hidup” bagi Risma. Warga Surabaya pun melawan manuver politisi DPRD yang hendak melengserkannya.
Dukungan kepada Risma mengalir tanpa mengenal latar belakang suku, agama, jenis kelamin dan usia. Tagar #saverisma menjadi treading topic di lini massa. Tak cuma di Surabaya, dukungan kepada Risma ini bahkan menembus sekat kota dan propinsi, serta menjadi isu yang hangat dibicarakan warga di Jakarta, Medan, Makassar bahkan Papua.