Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inilah Negeri Para Pecinta dan Pencaci

30 Oktober 2014   00:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:14 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Muhammad Toha

Benderang perang itu ditabuh pertengahan Maret lalu. Dan setelah itu kita menyaksikan pertarungan 2 kelompok yang berlomba saling menyanjung jagoannya tetapi sekaligus menghujat lawannya—sebelum dan selama masa kampanye Pilpres. Di berbagai media, terutama media sosial, kita dipaksa menguyah berbagai informasi bernada pujian dan sanjungan bersahut sahutan dengan hujatan, makian, fitnah, hinaan dan provokasi yang berseliweran nyaris tak berkesudahan.

Itulah bulan-bulan yang membuat saya merasa muak dan eneg. Berbagai media dan percakapan seperti dipenuhi oleh aura negetif, yang jika kita tak pandai men-filternya, tanpa sadar kita akan menyerap energi negatif itu.

Saya pikir, hajatan 9 Juli akan segera mengakhiri perang ini dan keriuhan pun berakhir. Tetapi rupanya setelah perhelatan Pilpres kelar, justru sanjungan, pujian, makian, hujatan, fitnah, kemarahan, kekecewaan, dan keputusaan bukannya usai tapi malah semakin membahana. Saya ketika itu menduga, kecintaan dan kebencian ini adalah wujud atas harapan dan keinginan mereka yang teramat besar untuk melihat Indonesia menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Mungkin itulah ekspresi mereka untuk Indonesia yang lebih baik.

Harapan saya ketika itu, semoga setelah KPU secara sah mengumumkan Presiden terpilih, hiruk pikuk ini akan berakhir dan kehidupan kembali damai. Tetapi apa yang terjadi setelah KPU mengumumkan Presiden terpilih 22 Juli lalu? Yang saya saksikan adalah terbelahnya 2 kubu dengan pengukuhan identitas masing-masing yang saling mengintai, menangkal dan menyerang.

Kelompok pendukung pemenang presiden begitu jumawa dan bangga dengan kemenangannya, sehingga kadang mereka lupa bahwa Presiden yang didukungnya adalah manusia biasa yang banyak cela dan kekurangnya. Sementara kelompok yang kalah, sepertinya murka dan menaruh kebencian berkarat, sehingga mereka pun kadang khilaf, presiden yang dibencinya itu adalah manusia yang juga banyak kebaikan dan kelebihan.

Saya pernah diwanti-wanti untuk tidak mencintai dan membenci seseorang secara berlebih, sebab cinta dan benci di dunia ini tak ada yang abadi. Bisa jadi seseorang yang kita cintai hari ini, kelak akan menjadi orang yang paling kita benci, sebaliknya orang yang kita benci saat ini, justru menjadi cinta kita di kemudian hari.

Nah, saya pun berpikir kecintaan dan kebencian terhadap Presiden terpilih yang disuarkan para “lover” dan “hater” ini akan reda seiring waktu. Saya coba menebak, keputusan final oleh Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus lalu, akan mengakhiri keributan ini. Kedua belah pihak akan bersalaman layaknya 2 tim sepakbola yang saling berjabat tangan dan bertukar kostum, setelah 90 menit pertandingan usai—apapun hasil pertandingannya.

Tapi apa lacur! Setidaknya hingga detik ini, setelah hampir 6 bulan semenjak genderang perang ditabuh, saya tak melihat tanda-tanda perseteruan ini akan berakhir; Inilah negeri yang dihuni oleh jutaan pencinta, tetapi sekaligus jutaan pencaci.

Inilah negeri yang orang-orangnya lebih suka riuh-rendah membahas idolanya atau menghujat musuhnya, sementara dirinya sendiri masih belepotan dengan aib dan kekurangan. Inilah negeri yang media dan dunia mayanya ramai dengan “tauziah” agama, sementara rumah ibadah justru lengang dari jamaahnya.

Saat ini saya tidak berani lagi berharap kapan hiruk pikuk ini berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun