Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Pedagang Martabak Belia

17 November 2014   19:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:36 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_354711" align="aligncenter" width="540" caption="Martabak Belia"][/caption]

Di awal tahun 1900-an, Gubernur Batavia kala itu ingin mempercantik kota Batavia laiknya kota di Negeri Belanda. Beberapa sudut kota ditata dan dipoles menyerupai kota Amsterdam.

Amsterdam yang ramah dengan pesepeda dan pejalan kaki juga hendak "dipindahkan" ke Batavia. Gubernur memerintahkan semua pemilik toko untuk membangun pedistrian di depan toko selebar 5 kaki (1 kaki setara 33 cm) di seluruh kota. Walhasil, menjelang setiap petang, Batavia selalu ramai dengan para pejalan kaki yang hendak melepas matahari.

Dan bagi pedagang, keramaian itu adalah rejeki, sebab keramaian selalu memancing uang mudah melayang dari kantong. Keramaian itu dimanfaatkan para pedagang makanan untuk berjualan di sepanjang jalur pedistrian. Mulanya hanya beberapa, tapi tak lama jalur pedistrian penuh dengan pedagang. Itulah muasal Pedagang itu disebut Pedagang Kaki Lima alias pedagang yang berjualan di jalur pedistrian selebar 5 kaki.

Nah, persis di depan Kompleks di pinggir jalan Serpong, ada seorang pedagang kaki lima yang berjualan Martabak Bangka. Penjualnya seorang anak muda yang aku taksir, umurnya sepantaran mahasiswa. Dia berjualan sendiri tanpa bantuan. Sepulang kantor, aku kerap singgah membeli martabak atau terang bulan disitu. Selain murah, rasanya juga enak di lidah.

Cuma beberapa kali saya tak jadi membeli di situ, karena tak mendapati penjualnya.Sebagai "raja" saya merasa layak mendapat layanan yang baik, makanya saya merasa tak rugi beralih ke penjual lain ketimbang menunggu penjual yang tidak ketahuan rimbanya ini.

Semalam saya coba singgah lagi untuk membeli terang bulan, sebagai teman minum teh di rumah. Saya langsung disambut ramah oleh penjualnya yang belakangan mengaku bernama Zuki. Disela menuang adonan ke loyang, aku ajak Zuki bercakap, sekaligusmengajukan komplain.

"Saya beberapa kali mau beli terang bulan disini, tapi kamunya gak ada, jadi saya beli di tempat lain. Kok jualan sering ditinggal sih?" kataku bernada protes.

"Oh maaf pak. Jam berapa bapak kesini?" balik Zuki bertanya.

"Yah sekitaran jam 7an lah,"

"Kalau jam segitu, biasanya saya sholat Isya ke mesjid pak. Jadi dagangan saya tinggal. Maklum saya jualan sendiri," jawab Zuki dengan polos.

Memang dekat Zuki berjualan, berjarak sekitar 200 meter ada mesjid yang sehalaman dengan Kantor Lurah dan Puskesmas. Zuki mengaku, selalu berupaya sholat magrib dan ishya berjamaah di mesjid itu.

"Kamu gak takut pembeli kamu lari karna jualanmu ditinggal sholat?" pancingku.

Jawaban Zuki, anak belia umur 21 tahun yang cuma tamatan SD ini seperti menyindir saya.

"Kalo uang mau dikejar, gak akan pernah habisnya pak. Kalo waktunya jualan, ya jualan, tapi kalo waktunya sholat, ya jualan ditinggal saja. Kalau pembelinya gak mau nunggu, berarti itu bukan rejeki saya," jawab Zuki sambil mengoles mentega di atas Terang Bulan yang telah matang.

Tak ada rekayasa ataupun bualan ala tukang obat atas jawaban Zuki itu tadi. Kalimat itu meluncur mulus dari mulut seorang pedagang kaki lima yang karna kemiskinan telah bekerja selepas tamat SD.

Sementara aku, kadang kala—atas dalih kesibukan—kerap mengesampingkan urusan ibadah di atas rutinitas duniawi, seolah capaian-capaian duniawi adalah sumber kebahagiaan satu-satunya. Disandingkan dalam taksiran usia, finansial, dan pendidikan yang bersifat duniawi, Zuki jelas bukan bandingan bagi saya. Tetapi, untuk hal yang sangat subtansial; tentang makna hidup, saya perlu untuk mengoreksi diri sendiri. Saya memang masih sangat belia soal memaknai substansi hidup.

Saya teringat dengan petuah lama yang dulu kerap dikatakan tetua di kampung; jika saja mata, telinga dan hati kita selalu terbuka untuk mencari makna kehidupan, maka dari seonggkah batu pun kita akan dapat memetik hikmah kehidupan.

Terima kasih Zuki, kamu telah mengajariku. Oh ya, makasih juga karna Terang Bulanmu enak sekali!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun