Selasa, 26 Oktober 2010 menjadi hari mencekam terutama bagi warga sekitar gunung Merapi yang termasuk salah satu gunung api aktif di Indonesia yang secara administratif terletak di wilayah Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten.
Gunung ini mengeluarkan letusan yang terparah dan mengeluarkan dentuman besar berupa awan panas dan abu vulkanik ke beberapa daerah penyangga gunung tersebut,malah abu vulkanik yang keluar terbawa hingga Kota Bandung.
Hari dimana relawan silih berganti mengevakuasi, masyarakat yang panik menunggu kabar keluarga yang tak pasti, hampir 300 ribu orang mengungsi dan 353 orang tewas terkena awan panas yang panasnya lebih panas lebih dari api termasuk Mbah Maridjan sang Juru Kunci Merapi bersama 2 relawan yang sedang mengevakuasi warga yaiitu (Alm) Tutut Priyanto dan (Alm) Yuniawan yang meninggal diakibatkan awan panas yang mengarah ke arah mereka.
Kerusakan dan kerugian material yang diakibatkan erupsi inipun memiliki angka yang fantastis yaitu hampir sebesar 4,2 triliun Rupiah yang dimana sektor pertanian menjadi sektor kerugian dan kerusakan terbesar.Â
Banyak sekali hasil usaha petani seperti tumbuhan yang hancur dan hasil tani yang gagal panen, serta kerusakan lain seperti hancurnya rumah warga dan matinya hewan ternak milik masyarakat.
Tak ayal kejadian ini membuat faktor permasalahan sosial baru bagi korban erupsi yang terkena dampaknya yaitu dari segi faktor penyebab alamiah yang dimana faktor penyebab permasalahan ini lebih ditekankan dengan adanya bencana alam.
Salah satu korban erupsi Merapi yang saya temui adalah ibu Ngatiyem seorang pedagang kecil-kecilan yang berdagang di Pettilasan Mbah Maridjan Desa Kinahrejo desa yang jaraknya dari kawah Merapi hanya berjarak 3,5 KM, dulu sebelum erupsi 2010 terjadi desa ini termasuk sekitaran Rumah Mbah Maridjan.Â
Ia mengaku betapa sulitnya saat kejadian tersebut ia menceritakan jika dirinya mendapat banyak sekali kehilangan mulai dari kehilangan Material seperti Rumahnya dan peternakan sapinya yang berada di Desa Palem Sari yang radiusnya pun cukup dekat dengan kawah Merapi.
Ia sertamerta kehilangan jiwa yaitu dua anggota keluarganya anaknya (Alm) Andrianto dan suaminya (Alm) Sarno. Ia menceritakan sebelum kejadian itu terjadi suaminya (Alm) Sarno sempat melaksanakan ibadah Shalat Maghrib dengan Mbah Maridjan
Selama 2 bulan berada di pengungsian ia amat bersyukur karena ketika dia di pengungsian banyak sekali orang-orang yang peduli dengan korban erupsi mulai dari bantuan seperti sembako, pakaian layak dll bantuan ini diberikan baik dari Pemerintah, Lembaga masyarakat dan dari masyarakat sendiri.