Serentetan masalah yang menggorogoti negri ini kian hari kian menumpuk, bahkan bisa dikata sudah kronis. Belum selesai penanganan kasus korupsi, ancaman teror bom menjadi hal yang banyak menyita perhatian publik. Konsekwensinya, harapan masyarakat bagi terciptanya negara yang makmur, yang memenuhi hak-hak bangsa masih sangat jauh untuk terwujudkan. Alih-alih berbicara masalah kualitas pendidikan di Indonesia, maka yang akan didapatkan adalah rasa miris berkepanjangan. Artinya kualitas pendidikan di Indonesia masih amburadul dan belum siap bersaing dalam kancah intersnasional.
Problema ini, diperparah oleh minimnya perhatian pemerintah terhadap persoalan yang menyangkut kualitas pendidikan itu sendiri. Pemerintah malah lebih memperhatikan infra strukturyang cenderung berorentasi pada megahnya gedung. Namun tidak sempat memikirkan masalah mutu standar pelayanan minimal. Hal ini, sempat disinggung oleh harian kompas pada 23 maret lalu, dilaporkan bahwa sampai saat ini 88,8 persen sekolah di negri ini, mulai dari SD hingga SMA masih belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Logikanya adalah,jalan mutu pelayanan minimal masih belum terlewati apalagi mutu pelayanan maksimal.
Pertanyaannya, sampai kapan mutu pendidikan akan terus terombang-ambing di tengah buih ketidak menentuan? Kapan kualitas riil mutu pendidikan bisa dinikmati anak bangsa? Nah, berangkat dari pertanyaan ini, maka setidaknyaada keresahan tersendiri di benakbangsa negri ini. Sebab tidak bisa dipungkiri, pendidikan mempunyai andil besar dalam membangun optimisme Indonesia yang gemah ripa loh jinawi.
Adalah menjadi sempurna ketika mengacu pada hasil eksplorasi Hafid Abbas yang menerangkan bahwa 40,31 persen dari 201,557 sekolah di Indonesia dibawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan hanya 10,15 persen yang hanya memenuhi pelayanan standar pelayanan nasional pendidikan. Data ini, menjadi kenyataan yang cukup memiluhkan hati. Anehnya, di tengah kenyataan yang tidak menentu itu, pemerintah justru gencar menggelontorkan dana meretas sekolah bertaraf internasional; 0,65 persen. (Kompas, 31/3)
Setengah hati
Dalam kondisi seperti ini, sekurang-kurangnya bukan melakukan upaya ‘setengah hati’ dalam mengantarkan mutu pendidikan pada harapan orang tua anak didik. Dalam artian, upaya pemerintah yang melulu memprioritaskan dana terhadap sekolah yang bertaraf internasioanl tidak cukup. Tetapi pelayanan mutu pendidikan yang merata akan cukup menjawab keresahan bagi terwujudnya cita-cita orang tua anak didik terkait harapan mutu pendidikan yang berkualitas.
Berangkat dari realitas ini, Michael Oakhesott (1992), pernah mensinyalir, pemerintah modern tidak tertarik pada pendidikan, mereka hanya tertarik pada semacam sosialisasi pada fragmen-fragmen yang masih bertahan pada kegiatan pendidikan. Maka pernyataan ini, dirasa sangat tepat untuk menggambarkan kondisi dunia pendidikan di Indonesia yang masih corat-marut. Hal, ini sebenarnya merupakan agenda besar yang harus cepat-cepat diselesaikan.
Yang perlu difikirkan adalah, bagaimana untuk segera menyelesaikan agenda besar yang menjadi tanggung jawab kita bersama? Sebab menjadi realitas yang tidak terbantakan, proses pengelolaan belajar-mengajar negri kita masih jauh tertinggal.Menyikapi ini, kelihatannya sangat relevan menelah laporan Katarina Tomasevski (2001) yang mengkaji mutu pendidikan di Indonesia. Ia mengungkapkan mutu pendidikan kita amat rendah dan nyaris belum siap bersaing dikancah internasional.
Ironisnya, meskipun dinaikkan gaji guru dua kali lipat, kebijakan itu hanya menjadi pemanis wacana, namun tetap tidak berdampak terhadap perbaikan mutu.Alasannya, sulit mendapatkan guru yang fokus terhadap satu profesi, akan tetapi banyak ditemukan guru yang rangkap dalam bermacam bentuk; ada yang berbisnis, dan tidak sedikit didapatkan guru yang bekerja ‘sambilan’ diberbagai lembaga lain. Sehingga tugas utamanya sebagai guru terabaikan.
Untuk itu, sekurang-kurangnya harus menghadirkan kembalisosok ‘Umar Bakri’ dalam penggambaran lagu Iwan Fals. Dalam pada itu,guru yang mempunyai kesadaran tinggi akan tanggung jawabnya sebagai guru. Tanggung jawab disini, dimaksudkan sikap concern guru terhadap pembentukan anak didik yang mampu bersaing secara intelegensia. Sehingga pada gilirannya berada di garda depan dalam memangku peradaban.
Dari pandangan tersebut, alangkah lebih sempurnanya, apabila pengetahuan nilai juga dijadikan bahan pertimbangan guna membentuk moralitas anak didik. Dalam kaitannya memadukan pengetahuan dengan kejernihan berfikir tentang apa yang dapat dan tidak dapat dicapai. Tentunya, hal ini sebagai upaya untuk mengantisipasi kecenderungannya yang melulu memikirkan ijazah, dan apatis terhadap kualitas ilmu yang dimiliki.
Sebagai penutup, maka tidak akan pernah didapatkan mutu pendidikan yang berkualiatas kalau hanya sekedar dalam angan-angan yang ‘dibungkus’ oleh niat belaka. Akan tetapi penulis optimis apabila niatan tersebut diwujudkandalam bentuk praksis. Artinya pemerintah sudah saatnya untuk berhenti cas cis cus membicarakan masalah kualitas pendidikan melainkan penanganan secara riil yang dibutuhkan oleh terciptanya mutu pendidikan yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H