Mohon tunggu...
Muhammad Taufik
Muhammad Taufik Mohon Tunggu... -

berpisah kita berjuang, bersatu kita memukul

Selanjutnya

Tutup

Money

Pergeseran Pola Konsumsi Masyarakat Tergerus Moderenitas

2 Desember 2010   12:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:05 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pagi-pagi, Ibu marsinah sudah sibuk dengan kesibukannya berbelanja kebutuhan untuk si kecil dan suami tercinta. Kebutuhan sehari-hari menjadi fokusnya dalam melangkah di pagi hari yaitu adalah untuk berbelanja. Maka pergilah ibu marsinah ke pasar Induk yang ternyata dekat dengan rumahnya. Dengan anggaran yang terbatas maka ibu pun berbelanja sesuai dengan kebutuhan yang harus dipenuhi hari itu bukan untuk hari-hari berikutnya. Hari-hari seperti ini terus berlangsung dalam keseharian ibu Marsinah yang mencoba untuk memberikan yang terbaik kepada keluarga…

Itulah gambaran yang diambil dari frame masyarakat kecil yang kesehariannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi keluarga. Namun itulah segemen dalam pasar yang terjadi di Indonesia. Banyak ibu-ibu yang memutuskan untuk mendapatkan berbelanja dipasar tradisional. Dengan berbagai kesederhanaan dan nilai-nilai leluhur yang tertanam dalam pasar tradisional. Kita dapat saja menawar untuk semua barang yang dijajakan. Kemudian bisa saja bertemeu dengan sanak saudara dan handai taulan dalam aktifitas di pasar. Ternyata model pasar seperti ini memang berlangsung sejak sebelum bangsa Indonesia sebagai kesatuan yang utuh. Para saudagar timur tengah datang untuk memberikan suatu nilai tambah dari sebuah barang dan juga sembari menyebarkan agama. Itulah kesederhanaan yang penuh dengan kebersahajaan.

Namun tampaknya itu hanya berlangsung hanya kurun waktu tertentu. Seiring dengan arus globalisasi yang didominasi oleh oleh kekuatan asing yang dapat menarik keinginan kita sebagai konsumen untuk terus berkonsumsi dan bahkan membawa pada pendaptan yang tidak halal dengan korupsi. Strategi moderenitas yang terjadi membawa kita terlarut dalam kenikmatan duniawi dengan berbagai produk yang ditawarka dengan value yang sangat menggugah hasrat untuk kembali berkonsumsi.

Maka lahirlah pasar moderen yang menjadi sosok perubahan yang membawa kemaslahatan atau mungkin kemudaratan. Kita bisa melihat bahwa korporasi yang menjelma kedalam sebuah pasar yang hanya menggerus keuntungan dari masyarakat atau para konsumen. Tidak melihat siapa yang akan dirugikan. Maka tergeruslah para pedagang tradisional yang hanya mampu bertahan dalam pinggiran jalan dan kondisi ketidaknyamanan pasar tradisional. Masyakarakat terlena kepada bayi yang ternyata terlihat cantik dan rupawan namun menjadi pembunuh berdarah dingin bagi para pedagang pasar. Awalnya coba-coba, namun ternyata kenikmatan tersebut membawa pada kebiasaan yang baru dan bahkan rutinitas baru yaitu datang ke pasar moderen.

Sejak lahirnya aturan dari undang-undang tentang persaingan usaha pada tahun 1999, maka begitu banyak pasar moderen masuk kedalam negeri. Inilah awal malapetaka pedagang di pasar tradisional. Dahulu saat baru muncul, pasar moderen seperti Carrefour mungkin tidak begitu dilirik oleh pasar konsumen yang mayoritas Ibu rumah tangga. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pasar moderen pun memiliki ketertarikan tersendiri. Undang-undang yang seharusnya membawa kemaslahatan seperti yang tercantum dalam dasar Negara UUD’45, justru membawa keterpurukan bagi ketahanan ekonomi nasional terutama sector informal yang terkena imbas.
Keuntungan pun beralih dari tangan-tangan pedagang kemudian kini ditangan penguasa asing dengan kekuatan modalnya. Coba dibayangkan, dari seratus sampai dua ratus perak yang didapat oleh pedagang, tiba-tiba beralih kepada keserakahan korporasi yang hanya mengeruk keuntungan dari sari-sari transaksi yang ada dalam pasar tradisional. Ini terjadi diseluruh Indonesia yang memiliki jaringan pasar tradisional.

Inilah kecarut-marutan bangsa ini ketika kapitalisasi merasuk kedalam sebuah instrumen ketahanan ekonomi nasional. Sungguh menyedihkan ketika nilai-nilai tradisional itu mulai luntur dalam kemunduran yang hanya menyisakan sejarah. Mungkin suatu saat jika tidak ada itikad baik dari semua pihak, tampaknya pasar tradisional akan menjadi museum yang mencerminkan kehidupan bersahaja bangsa dan Negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun