gue termasuk orang yang tidak nyandak memahami politik indonesia. terlalu banyak anomali. kita akhirnya sering dibuat tercengang. ketika figur atau politisi yang dahulu sangat dekat dengan sang patron, kini malah menjadi musuh. berubah menjadi brutus. politisi yang dulunya sering menjadi tameng tuannya, tidak jarang berubah menjadi rival. aneh kan?
nggak ada ikatan emosional ideologis yang mengikat. yang membuat relasi keduanya sangat emosional. coba aja saksikan, di mana-mana warna parpol itu sama. sama-sama cuma nyari kekuasaan. orang-orangnya pake katrol pula. sehingga kalau patronnya naik, mereka ikut naik. tetapi belum tentu patronnya turun, mereka ikut turun. yang seringkali kejadian, mereka ini yang justeru nurunin patronnya. mereka ini yang paling depan ngehujat patronnya. bodo amat dengan apa yang telah dilakukan sang patron sebelumnya. aneh lagi kan?
artinya, kita tidak menemukan tali-temali logis yang bisa menjelaskan hubungan kekuasaan yang aneh tersebut. contoh paling anyar, ibu rini suwandi, sang menteri bumn. siapa yang tidak kenal beliau. aliansi terdekat bu mega. figur terdepan yang memimpin seleksi para calon menteri ketika awal jokowi terpilih presiden. sekarang, apa yang kita saksikan? non-sense!
tokoh satu ini mungkin menjadi figur yang paling dihujat pasca bocornya tudingan "ngelecehin" presiden. sesungguhnya, by all means, dia tidak boleh melakukan itu. jikapun rini bisa melakukannya, do it di depan forum terbatas presiden. orang padang bilang, tak elok melihatnya. ada batasan-batasan etik seorang pembantu presiden mendiskusikan apa yang menjadi concern-nya. terutama dalam soal kebijakan publik.
dalam demokrasi yang matang, publik sebenarnya memimpikan keterbukaan itu. bukan keterbukaan ngelecehin presiden, tetapi transparansi dalam diskursus kebijakan yang melibatkan publik atau siapapun yang berkepentingan. ini penting, untuk membuat kebijakan matang dan accountable. sebab ini yang terasa kurang di kita.Â
yang menyedihkan, kultur kekuasaan di indonesia cenderung mengajarkan para pejabat public office untuk membicarakan kebijakan di belakang orangnya. masih agak berat melakukan itu secara terbuka dengan pemengan tertinggi kekuasaan. konsekuensinya, orang pada lebih sreg menggunjing setelah mungkin mendiskusikan kebijakan dua atau tiga menit. selebihnya, panjang lebar ngebicarain orangnya.
yang tidak pernah kita saksikan, ini ! jika misalnya, tidak setuju dengan jalan yang ditempuh presiden, mundur !
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H