[caption id="attachment_159575" align="aligncenter" width="500" caption="Zainab Al-Khawaja sedang ditarik oleh seorang Polwan Bahrain di Jalan Budaiya Bahrain (Foto: Google)"][/caption] Gerakan pro demokrasi menggunakan media jejaring sosial terbukti cukup efektif menjatuhkan sejumlah diktator di Timur Tengah. Mereka yang telah menjadi korban efektivitas media jejaring sosial itu, antara lain Ben Ali, Presiden Tunisia yang melarikan diri ke Arab Saudi, disusul Presiden Mesir Hosni Mubarak, pemimpin Libya Moammar Gaddafi, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, dan kini yang sedang berada di ujung tanduk adalah Presiden Suriah.
Keberhasilan gerakan pro demokrasi di sejumlah negara Arab itu, menginspirasi sejumlah aktivis anti monarki Bahrain yang menggunakan Twitter untuk menumbangkan raja mereka. Aksi itu dimotori oleh Zainab Al-Khawaja. Dia adalah seorang aktivis HAM sekaligus blogger terkemuka di negara tersebut. Akibat aksi penggalangan massa via Twitter, akhirnya dia ditahan polisi saat berlangsungnya protes di Manama, Jumat (16/12/2011) tahun lalu.
Zainab Al-Khawaja adalah putri seorang tokoh oposisi terkenal di negara itu. Dia memiliki akun twitter dengan nama @angryarabiya. Saat kerusuhan itu terjadi, dia tidak mau beranjak dari bundaran jalan raya Budaiya. Kabarnya dia menolak untuk meninggalkan bundaran yang terletak di sebelah barat kota Manama itu sampai akhirnya polisi menangkap Zainab.
Tribunjogja.com, Jumat (16/12) melaporkan tentang penangkapan Zainab Al-Khawaja: Dia diborgol dan dibawa pergi oleh polisi bersama dengan setidaknya satu pengunjuk rasa wanita lain. Zainab sempat menulis tweets: "Saya duduk di bundaran jalanan Budaiya, mereka berteriak turunkan Hamad, dan seketika polisi anti huru hara tampaknya tidak tahu harus berbuat apa. Seorang gadis telah bergabung dengan saya sekarang."
Solidaritas kepada Zainab Al-Khawaja terus mengalir memenuhi timeline twitter, baik timeline sahabat-sahabat dan pendukungnya. Mereka menulis #FreeForBahrain, #FreeZainab #Bahrain dan banyak komentar yang mendukung gerakan pro demokrasi yang sudah berlangsung sejak 10 bulan lalu. Dukungan itu bukan hanya dari tweeps di negara itu, malah berdatangan hampir dari seluruh dunia.
Fenomena itu barangkali yang membuat Pangeran Al Waleed bin Talal, anggota Kerajaan Arab Saudi begitu khawatir, sehingga dia menginvestasikan dananya kepada mikroblog Twitter. Dengan kekuatan uang, dia dengan mudah dapat membungkam kekuatan Twitter di negaranya.
Tanda tanya orang terhadap motivasi Pangeran Al Waleed bin Talal membeli saham Twitter akhirnya terjawab. Tidak lama kemudian, Twitter yang salah satu pemiliknya adalah keluarga Kerajaan Arab Saudi itu, menyatakan akan mulai membatasi tweets di negara tertentu. Dapat dipastikan, salah satu negara yang tidak bebas lagi untuk berkicau (tweets) adalah di Arab Saudi.
Mungkinkah pembatasan semacam itu akan diikuti oleh negara lain, Indonesia misalnya. Sepertinya, Indonesia yang sudah berada dalam alam demokrasi, tentu tidak ada untungnya mengambil langkah ini. Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat melalui media jejaring sosial pasti akan mencederai demokrasi itu sendiri.
Lebih-lebih Twitter merupakan media jejaring sosial terbanyak kedua setelah Facebook yang digunakan oleh orang Indonesia. Kompasdotcom (9/11/2011) menulis bahwa Twitter dan Facebook digunakan oleh 47 juta warga Indonesia. Angka yang sangat besar untuk melakukan sebuah pembatasan. Pastinya, Indonesia bukan Timur Tengah yang otoriter dan selalu khawatir dengan gerakan pro demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H