[caption id="attachment_357447" align="aligncenter" width="597" caption="Capture aktivitas para penyuluh pertanian di grup FB Forum Penyuluh Aceh Tengah."][/caption]
Dalam sebuah pertemuan dengan para penyuluh pertanian Kabupaten Aceh Tengah, akhir Desember 2013 lalu, saya melempar gagasan untuk membuat grup penyuluh pertanian di Facebook. Gagasan itu berangkat dari banyaknya keluhan penyuluh saat menyampaikan laporan cepat kepada pimpinannya. Hambatannya karena mayoritas penyuluh bertugas di pedesaan, ada yang lokasi tugasnya 80 Km dari kantor induk yang terletak di Pegasing, Aceh Tengah.
Saya tanya, apakah di desa tempat para penyuluh bertugas sudah terjangkau sinyal handphone. Semua penyuluh itu menjawab, terjangkau. Saya katakan, kalau terjangkau sinyal handphone berarti bisa internet. Para penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah pasti dapat mengirim laporan aktivitasnya dalam hitungan detik. Mereka kelihatannya ragu-ragu, belum yakin dengan penjelasan saya.
Saat itu juga, saya membuat sebuah grup [kategori privasi rahasia] yang diberi nama Forum Penyuluh Aceh Tengah [Back Office]. Tujuan grup ini sederhana, sebagai wahana komunikasi antar penyuluh di Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Aceh Tengah.
Kenapa harus grup rahasia? Karena para penyuluh itu terhitung pendatang baru di media jejaring sosial (medsos) Facebook. Kalaupun nantinya salah menulis status atau keliru mengupload gambar, hanya para penyuluh yang bisa melihatnya. Mereka tidak menjadi sasaran bully oleh pengguna Facebook yang lain.
Image masyarakat
Beberapa penyuluh yang belum familier dengan Facebook mempertanyakan efektivitas grup Facebook itu, termasuk image pimpinannya dan masyarakat. “Nanti dibilang orang kita asyik bermain Facebook, melupakan kerja,” ungkap seorang penyuluh. Saya katakan, sampai detik ini belum ada larangan bagi kalangan birokrat untuk menggunakan medsos.
Saya memberi contoh para pejabat tinggi negara di Indonesia, misalnya, Presiden SBY, Wapres Budiono, para menteri, para anggota DPR-RI menggunakan medsos Twitter untuk berkomunikasi dengan rakyat. Malah Jokowi punya akun Twitter dan Facebook, sementara Jusuf Kalla punya akun Twitter. Lantas, kenapa para penyuluh harus khawatir memanfaatkan medsos sebagai alat penunjang tugas.
Bergabung dengan salah satu medsos tidak salah asal digunakan untuk kebaikan, misalnya untuk memudahkan pekerjaan sebagai penyuluh. Tujuannya tidak lebih, hanya untuk memperpendek rentang tugas antar penyuluh dengan petani dan pimpinannya.
Manfaat yang paling nyata, seorang pimpinan tidak selalu harus tatap muka dengan penyuluh dalam memberi sebuah perintah. Sebaliknya, penyuluh pun tidak mesti melaporan aktivitasnya melalui lembaran-lembaran kertas, cukup mengupload gambar di wall Facebook dan memberi sedikit keterangan dengan rumus 5W+1H.
Penyuluh bisa disalahkan
Para penyuluh itu belum juga yakin. Saya terus berusaha agar mereka percaya bahwa medsos sangat membantu tugas para penyuluh. Coba bayangkan, kata saya waktu itu, tiba-tiba tanaman petani binaan para penyuluh terserang hama. Apakah para petani itu harus menunggu jadwal kunjungan penyuluh dulu ke desa mereka, baru kejadian itu ditangani? Terlambat, petani bisa menyalahkan penyuluh dengan tuduhan tidak peduli.
Apabila para penyuluh mempunyai akun Facebook, petani tadi bisa mengirim gambar tanaman yang terserang hama itu ke wall para penyuluh. Saat itu juga para penyuluh dapat mengenali jenis hama yang menyerang tanaman tersebut. Seandainya si penyuluh belum bisa memberi solusi, gambar itu diupload kembali ke wall Forum Penyuluh Aceh Tengah.
Di grup Forum Penyuluh Aceh Tengah itu, silahkan mendiskusikan jenis hama tanaman tersebut sampai ditemukan solusi jitu. Kemudian, solusinya dengan cepat dapat disampaikan kepada petani binaan yang mengupload gambar tadi. Dalam diskusi melalui grup Facebook itu, para penyuluh tidak perlu hadir ke Balai Penyuluh Pertanian (BPP) atau Kantor Badan Penyuluhan, tetapi cukup dilakukan dari tempat tidur. Mudah bukan?
Sejak itu, sebanyak 164 orang penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah resmi memiliki grup Facebook yang bernama Forum Penyuluh Aceh Tengah [Back Office]. Meskipun yang aktif memanfaatkan grup itu hanya 20%, setidaknya mereka sudah berani move on ke arah yang lebih baik.
[caption id="attachment_357449" align="aligncenter" width="785" caption="Dinding grup Facebook para penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah"]
E-blusukan via Facebook
Barangkali dengan sedikit latihan menggunakan gadget, para penyuluh itu akan bisa merasakan mudahnya bekerja dengan teknologi. Bertemu dan berkomunikasi dengan petani cukup melalui gadgetnya. Saya selalu siap sedia melatih dan mengajarkan mereka, kapan saja. Menjadi admin grup ini pun bersedia, dengan mimpi “para petani terlayani secepat jaringan internet masuk ke gadget mereka.”
Saya bahkan bermimpi e-blusukan Presiden Jokowi dengan para kepala daerah di seluruh nusantara bisa dilakukan melalui grup Facebook. Presiden dapat memonitor apa saja yang dilakukan seorang kepala daerah pada hari itu juga. Caranya, Presiden cukup menulis status di wall Facebook, “apa yang sudah saudara lakukan untuk rakyat pada hari ini?”
Para kepala daerah harus patuh kepada presiden, maka mereka akan mengupload foto dan keterangan aktivitasnya hari itu. Serta merta fakta empirik dari para bawahan Presiden Jokowi akan menempel di wall Facebook-nya. Mungkinkah? Inibaru sekedar mimpi seorang warga biasa yang sudah mempraktekkannya di Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Aceh Tengah, sebuah kabupaten kecil di Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H