Beberapa hari lalu, handphone saya berdering. Dering itu khusus untuk pesan masuk di messenger. Benar, seorang teman Facebook yang saya kenal sebagai penyuka kopi mengirim pesan pendek.
"Pak, berapa harga 1 kilogram green bean kopi arabika gayo?" tanya teman itu.
"Green bean yang masih asalan, belum disortir, hanya Rp 60 ribu per kg," balas saya.
"Mahal ya! Yang harga Rp 30 ribu per kg, ada nggak ya?" tanya lelaki itu.
"Maaf, belum ada," jawab saya pendek. Setelah itu tidak ada komunikasi lanjutan terkait harga kopi dengan lelaki itu.
Ini video "Duta" Kopi Gayo di Malaysia:
Sebenarnya ada kopi sisa sortiran (pesel, istilah di Takengon) yang harganya Rp 18 ribu per kg. Meski sisa sortiran, masih tergolong kopi juga. Hanya saja, biji kopi ini ada yang pecah dan busuk sebelah. Kalau digongseng, rasa kopinya tetap masih terasa. Beberapa perusahaan kopi malah sering memesan kopi sisa sortiran itu melalui pedagang kopi di sana. Namun, saya belum tega menawarkan kopi pesel itu kepada teman sendiri.
Lama saya tercenung, kenapa harga sekilo green bean kopi arabika gayo sebesar Rp 60 ribu, masih ada yang menganggap mahal? Padahal, menikmati secangkir espresso (intisari kopi) di cafe internasional SB, orang harus merogoh kocek sebesar Rp 25 ribu.
Tahukah pembaca, untuk membuat secangkir espresso hanya dibutuhkan 20 gram roasted coffee. Artinya, apabila di-roasting 1 kg green bean (hasilnya menjadi 800 gram, karena penyusutan 20%) dapat dibuat 40 cangkir espresso. Kalikan saja 40 cangkir dengan Rp 25 ribu, maka diperoleh angka Rp 1 juta. Nilai tambahnya dahsyat.
Ini video kisah perjalanan sebutir kopi:
Dibandingkan nilai tambah yang diperoleh petani, sungguh sangat jauh. Lebih-lebih petani yang menjual biji kopi gelondong merah atau gabah basah. Setiap 1 kaleng gelondong merah (20 liter) dibeli pedagang pengumpul Rp 100 ribu. Dari 1 kaleng gelondong merah bisa menghasilkan 2,4 kg green bean.