[caption caption="Bunyi denging yang keluar dari meteran ini sebagai pertanda stroom akan habis [Foto: Dokpri]"][/caption]Benarkah Listrik Pintar PLN dapat menghemat pengeluaran? Benar, saya sudah merasakan sendiri dampaknya. Sebelum menggunakan listrik prabayar [sebutan untuk Listrik Pintar PLN], setiap awal bulan harus menyisihkan uang sebesar Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta. Uang sejumlah itu untuk persiapan membayar rekening listrik. Saat ini, pengeluaran saya untuk pembayaran listrik berkurang drastis, sebab uang pembeli token/stroom tidak lebih dari Rp 200 ribu.
Saya pun tidak perlu lagi antri didepan loket PLN atau Kantor Pos untuk membayar tagihan listrik bulanan, lantaran token/stroom Listrik Pintar PLN dapat dibayar melalui fasilitas mobile banking yang tersedia pada fitur smartphone. Paling melegakan, saya tidak perlu lagi komplain atas perbedaan angka meteran dengan angka yang tertera pada lembar bukti pembayaran. Semuanya plong, seakan-akan tuntas sudah satu persoalan dalam hidup ini.
Tanpa disadari, sebenarnya Listrik PintarPLN ini telah mendidik istri dan putra-putri saya dalam berhemat listrik. Dampak nyata yang dapat dirasakan, pengeluaran untuk membeli token/stroom terus menurun. Memang, bulan-bulan pertama pengalihan alat pengukur arus dari sistem meteran manual ke sistem Listrik Pintar PLN, saya pernah mengeluarkan uang pembeli token/stroom mencapai Rp 500 ribu lebih.
Saat itu, saya sempat berpikir, Listrik Pintar PLN tidak sehemat seperti yang diiklankan. Hampir saja saya mengalihkan kembali ke sistem meteran manual. Selidik punya selidik, ternyata penyebab utamanya adalah pemakaian listrik yang tidak terkendali. Polanya masih seperti bulan-bulan sebelumnya. Lampu dibiarkan menyala 24 jam, termasuk AC tidak pernah dimatikan meskipun putra-putri saya sudah berangkat kuliah. Disisi lain, saya tidak dapat mengontrol aktivitas pemakaian listrik itu, karena tempat tinggal kami berjarak 350 kilometer.
Berhemat listrik
Bertepatan dengan cuti bersama Lebaran 2015, kami manfaatkan liburan bersama putra-putri yang sedang kuliah di Banda Aceh. Bertepatan hari kedua lebaran, saya dan isteri melakukan kunjungan silaturrahmi ke rumah sanak famili. Tempat tinggal mereka berada di luar kota, memerlukan waktu setengah hari untuk mencapai tempat itu. Dipastikan, perjalanan pulang nantinya akan menembus gelapnya malam. Keempat putra-putri saya memahami kondisi itu, makanya mereka tidak bersedia ikut, lebih memilih tinggal di rumah.
Sekitar 30 menit perjalanan yang baru kami tempuh, tiba-tiba handphone berdering. Ada telepon masuk dari si sulung. Sambil menyetir, saya angkat telepon itu, barangkali ada kondisi darurat. Dari ujung telepon, si sulung yang masih duduk pada semester delapan di Universitas Syiah Kuala itu melaporkan, meteran listrik mengeluarkan bunyi berdenging. Mereka berempat sangat khawatir, pasalnya bunyi semacam itu tidak pernah terdengar pada meteran listrik sebelumnya.
“Kami takut, jangan-jangan meteran itu meledak,” kata si sulung dengan suara bergetar.
“Hah, masa iya? Coba cek angka di meteran itu,” pinta saya. Beberapa menit kemudian, si sulung menelepon kembali.
“Di meteran itu tertulis angka 5 titik 01,” lapor si sulung.
“O..., alaram itu tanda stroom hampir habis. Stroom kita tinggal 5 KwH lagi. Sebentar lagi ayah kirim 20 nomor untuk mengisi stroom,” kata saya dengan suara bernada lega.