Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Komik, Pemicu Kecanduan Membaca

29 Oktober 2012   14:52 Diperbarui: 4 April 2017   16:44 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13515220781636852521

[caption id="attachment_213724" align="aligncenter" width="448" caption="Mendorong anak-anak membaca komik akan memicu tumbuhnya keinginan membaca yang bermanfaat bagi dirinya dikemudian hari."][/caption] Meskipun sudah tergolong berusia senja, hobi membaca komik belum dapat saya tinggalkan. Saya sering ditertawai oleh isteri karena rebutan membaca komik Donald Bebek. Saat ditertawai isteri, saya sadar bahwa sebenarnya komik bukan bacaan orang seusia saya. Namun, kenikmatan membaca komik sama dengan kecanduan menonton opera sabun. Satu serial saja tertinggal maka buyarlah semua kisah yang sudah terpatri dalam benak kita. Sejak terjadi rebutan komik dengan anak-anak, saya memilih membacanya setelah mereka selesai membaca. Itupun secara diam-diam, soalnya malu juga jika ditertawai anak-anak. Biasanya, komik yang telah selesai mereka baca diletakkan begitu saja di bale-bale tempat keluarga nonton televisi. Rata-rata komik yang telah selesai mereka baca, kondisinya remuk, malah sering gambarnya dicoret-coret. Hari itu, terasa sedikit aneh karena beberapa komik Doraemon yang masih baru telah diletakkan di bale-bale itu. Saya berpikir, pasti komik itu sudah mereka baca. Tanpa lihat kiri-kanan, saya mulai melahap komik-komik itu. Kisah dalam komik Doraemon itu lucu-lucu sehingga membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Ketika itulah anak-anak muncul dari balik tirai pintu, serempak berteriak: “Bapak ketahuan...bapak ketahuan....bapak ketahuan! Baca komik anak-anak! Masa kecil bapak pasti nggak puas ya?” Walaahh, rupanya saya dijebak anak-anak. Malu juga diteriakin anak, sekali lagi isteri saya tersenyum dari balik tirai pintu seolah-olah mengatakan: “Idiihh, udah tua kok masih doyan baca komik.” Akhirnya, terpaksa saya membuka rahasia masa kecil yang sebenarnya malu untuk diceritakan. Rahasia itu adalah kecanduan membaca komik yang menyebabkan saya lupa makan, lupa pulang sampai jatuh sakit. Candu komik dimulai pada akhir tahun 1970-an, waktu itu saya masih kelas 1 SMP. Dengan berbagai keterbatasan hiburan yang bisa dinikmati anak-anak, tentu komik jadi hiburan favorit. Tidak ada televisi, apalagi internet, yang ada hanya bioskop. Satu-satunya yang bisa menghibur anak-anak hanya menyewa komik dari dua taman bacaan yang terdapat di kota Takengon-Aceh Tengah. Dengan uang Rp.5, kita sudah bisa menyewa satu buah komik untuk sehari, sementara uang jajan sekolah hanya Rp.10 per hari. Agar bisa membaca komik sampai tamat, saya saling tukaran dengan teman yang juga menyewa judul yang sama. Makin lama, membaca komik terasa makin mengasyikkan. Saya tidak sadar jika sudah kecanduan komik. Pulang sekolah bukan langsung ke rumah tetapi “nyangkut” di kios penyewaan komik. Alhasil, Bang Jack, pemilik taman bacaan itu meminta saya untuk menjaga taman bacaan itu ketika dia pulang makan siang. Saya diberi kemudahan dapat membaca komik secara gratis. Rezeki besar, bisik hati saya waktu itu. Komik membuat saya sangat tergantung dengan taman bacaan itu. Lebih-lebih ketika membaca komik karya Jan Mintaraga dan Ganesh TH, belum berhenti jika belum tamat. Namun, komik yang kisahnya masih teringat sampai saat ini adalah Jaka Sembung. Dari komik Jaka Sembung, saya mengenal sosok jenderal Belanda bernama Jan Piterzoon Coen sebagai penguasa Batavia, termasuk kisah berdirinya kota Jakarta. Semua komik yang terdapat di taman bacaan Bang Jack itu habis saya baca. Saya mulai bingung, apalagi yang akan dibaca. Sepertinya saya mengidap kecanduan komik. Pilihan saya berikutnya jatuh kepada komik tanpa gambar (cerita silat) karya Asmaraman Kho Ping Ho. Ternyata, komik tanpa gambar ini membuat pembaca penasaran. Pernah, saya begadang sampai pagi hanya untuk menyelesaikan membaca cerita silat tentang Pendekar Rajawali. Berbagai judul cerita silat karya Asmaraman Kho Ping Ho yang terdapat di taman bacaan Bang Jack akhirnya habis terbaca. Kemudian, bacaan saya beralih ke novel Nick Carter, kisah tentang sepak terjang mata-mata super dari Amerika Serikat. Selain itu, saya juga menyelingi dengan membaca novel karya Titi Said, dan novel-novel lainnya. Pastinya, jika ada komik baru atau novel baru di taman bacaan itu, maka saya merupakan orang pertama yang menyewanya meskipun waktu itu sudah duduk dibangku SMA. Setamat SMA, saya pindah ke Banda Aceh mengikuti Sipenmaru. Karena sudah terlanjur candu membaca komik dan novel, sementara saya belum tahu tempat penyewaan bahan bacaan itu, maka koran di warung kopi jadi bahan bacaan satu-satunya. Bukan hanya berita dan cerpen yang dibaca, malah iklanpun dibaca. Orang yang melihatnya terheran-heran, karena membaca koran sampai berjam-jam. Mereka tidak tahu jika saya sedang mengatasi kecanduan membaca komik. Sebab, kalau tidak membaca sesuatu, perasaan saya seperti orang linglung. Ternyata, kecanduan membaca bukan penyakit tetapi memberi keuntungan tersendiri saat mulai kuliah. Diperguruan tinggi, setiap dosen mewajibkan para mahasiswa untuk membaca buku tertentu. Bagi mereka yang kecanduan membaca, PR seperti itu menjadi makanan empuk. Sebaliknya, bagi teman-teman yang alergi membaca, PR membaca buku menjadi sebuah hukuman. Saat di perguruan tinggi baru saya rasakan manfaat besar akibat kecanduan membaca komik. Jadi, jangan larang anak-anak untuk membaca komik, hanya saja komik yang akan dibaca anak-anak harus selektif. Banyak beredar komik yang kurang edukatif, bahkan menampilkan gambar yang kurang senonoh. Jauhkan komik yang kurang edukatif itu dari tangan anak-anak kita. Kesimpulannya: komik dapat mendorong orang menjadi candu membaca. Begitu komik dan novel sudah habis terbaca, maka orang itu akan beralih membaca buku-buku ilmu pengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun