Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kacau! Bila Pers Hentikan Liput DPR

17 Februari 2012   17:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebelum hebohnya ihwal DPR-RI akan mengatur tata tertib peliputan pers, saya berpikir bahwa hanya pemerintah Orde Lama dan Orde Baru sebagai rezim yang alergi kepada pers. Stigma ini sudah lama tersimpan di alam bawah sadar saya. Stigma itu berangkat dari sejarah pembreidelan sejumlah media oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru. Hal itu membuktikan bahwa hanya orang-orang otoriter yang tidak suka keterbukaan dan kebebasan.

Sangat naluriah jika manusia ingin mengetahui hal-hal tersembunyi. Membuka sesuatu kepada publik sangat relevan dengan tuntutan alam demokrasi. Sebab, tidak ada informasi yang ditutup-tutupi dalam era demokrasi karena semua warga negara berhak untuk mengetahui penggunaan uangnya. Lalu, siapa sajakah yang menggunakan uang rakyat?

Salah satunya adalah lembaga tinggi negara yang bernama DPR-RI. Lembaga kebanggaan rakyat Indonesia ini menjadi ikon demokrasi setelah Republik Indonesia memasuki era reformasi. Bagi rakyat, lembaga inilah yang diharapkan menjadi benteng demokrasi, karena salah satu fungsinya melakukan pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan.

Sebagai benteng demokrasi, para anggota DPR-RI dapat dikatakan sebagai pendekar demokrasi yang berjuang membela kepentingan rakyat. Suara dan teriakan mereka membuat para pemilihnya bangga, sangat mungkin untuk Pemilu berikutnya para konstituen akan memilih lagi yang bersangkutan. Darimana rakyat mengetahui tentang segala sesuatu yang sudah dilakukan anggota DPR-RI? Itulah dari hasil peliputan jurnalistik (pers).

Popularitas seorang anggota DPR-RI bukan muncul tiba-tiba atau dengan sendirinya, melainkan karena gambar mereka sering tampil di layar kaca atau halaman media cetak/online. Anak saya yang masih duduk di kelas II SD begitu mengenal wajah Sutan Bhatoegana, Ruhut Sitompul, Ahmad Yani dan Akbar Faizal. Dia mengetahui orang ini sebagai anggota DPR-RI karena wajahnya sering muncul di televisi dalam acara talk show.

Sekarang, para pendekar demokrasi itu sedang berupaya “menutup diri” dengan menyusun Peraturan DPR tentang Tata Tertib Peliputan Pers. Ramadhan Pohan kepada VIVAnews (16/2) menilai bahwa aturan ini muncul karena ada pihak yang paranoid dengan pemberitaan media belakangan ini. “Barangkali para senior saya, ada paranoid dengan wartawan.” katanya.

Konon, peraturan yang mengekang kebebasan pers itu disusun oleh Setjen DPR-RI bersama BURT. Lagi-lagi dua lembaga yang jadi sangat populer karena blundernya dalam kasus ruang sidang Banggar, kini alat kelengkapan di DPR-RI ini kembali membuat blunder baru. Walaupun kabar terakhir yang berkembang bahwa pelaksanaan Peraturan DPR tentang Tata Tertib Peliputan Pers, pada akhirnya ditunda.

Pastinya, rencana blunder itu telah menggores hati para insan pers yang selama ini mampu menyajikan fakta dan data (baik yang salah atau benar) yang dikerjakan para wakil rakyat. Sebagai kekuatan keempat (fourth power), pers menjadi palang pintu terakhir dalam menegakkan demokrasi di negeri ini, setelah beberapa anggota DPR-RI bersikap a-demokratis dan keluar dari rel. Haruskah dibiarkan DPR-RI sebagai pendekar demokrasi menjadi pecundang yang a-demokratis?

Rasanya sangatlah mustahil membiarkan pendekar demokrasi menjadi pecundang, karena perjalanan mewujudkan reformasi di negeri ini sudah terlalu banyak memakan korban, baik korban jiwa maupun harta benda. Hanya saja, kita juga menjadi khawatir, bagaimana jika nantinya kalangan pers tersinggung yang berujung kepada menghentikan semua liputan terhadap aktivitas DPR-RI? Bagi kaum paranoid terhadap pers yang berada di DPR-RI tentu sangat senang, sebaliknya bagi rakyat yang dengan susah payah telah memilih mereka tidak dapat lagi memonitor aktivitas wakil-wakilnya.

Sebenarnya apa kerugian bagi anggota DPR-RI jika pers menghentikan peliputan aktivitas para wakil rakyat?


  1. Orang-orang seperti Sutan Bhatoegana, Ruhut Sitompul, Ahmad Yani, Akbar Faizal, dll tidak akan pernah dikenal orang sehingga pada Pemilu 2014, mereka dianggap oleh rakyat belum berbuat apapun alias pendatang baru. Selama ini anggota DPR-RI jadi populer karena hasil pemberitaan media massa.
  2. Orang tidak akan pernah tahu lagi jika di negeri ini ada lembaga demokrasi yang bernama DPR-RI yang berhimpun para wakil rakyat dari seluruh Indonesia.
  3. Popularitas penerintah akan melejit, karena rakyat tidak pernah membaca adanya kritik dari DPR-RI. Sebab, kritik maupun komentar anggota DPR-RI terhadap pemerintah tidak akan dimuat (diberitakan) lagi oleh pers.
  4. Karena DPR-RI tidak populer lagi (tidak dikenal publik) maka jika ada usul membubarkan lembaga ini segera mendapat respon positif dari rakyat.
  5. Anggota DPD akan mengambil alih peran DPR-RI, pada akhirnya parlemen di Indonesia yang diakui rakyat akan beralih kepada DPD.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun