[caption id="attachment_365843" align="aligncenter" width="480" caption="ilustrasi (foto: detikdotcom)"][/caption]
Belum 100 hari memerintah, Jokowi selaku “pilot” Republik Indonesia sudah mulai memasuki awan “cumulonimbus.” Petir dan udara hampa sudah menanti disana. “Turbulensi” politik [meminjam istilah Hanta Yuda] tentu tidak terhindarkan. “Republik” ini pelan-pelan mulai merasakan guncangan. Hanya saja, pilot belum memerintahkan untuk memakai seat belt.
“Turbulensi” itu bermula dari kebijakan Jokowi memasuki 100 hari pemerintahannya. Dimulai saat Jokowi memilih para menteri untuk mengisi kursi Kabinet Kerja. Zaken kabinet yang diimpikannya, ternyata tak kesampaian. Akhirnya Kabinet Kerja itu harus diisi oleh para profesional dan profesional partai.
Akibatnya, satu persatu kritik mulai mengarah kepadanya. Beberapa media mainstream yang sebelumnya cenderung me-make up Jokowi dengan berita “cantik,” kini mulai menyampaikan kondisi apa adanya. Dan, hujan kritik mulai terhujam ke arah Jokowi. Makin lama, guncangan akibat “turbulensi” makin terasa, terutama ketika Jokowi menaikkan harga BBM [meski kemudian diturunkan kembali].
Belum usai “turbulensi” akibat naiknya harga BBM, Kamis (8/1/2015) seorang politisi senior memberi sinyal melalui twitter, bunyinya: “Besuk akan menjadi berita penting, mudah-mudahan berjalan sesuai rencana dan membawa manfaat buat rasa aman bersama #kode.”
Kode yang disampaikan politisi senior baru terpecahkan, Jumat 9 Januari 2015. Sore itu tersiar kabar bahwa Presiden Jokowi melayangkan selembar surat yang ditujukan kepada DPR-RI tentang Calon Kapolri. Publik heboh. Medsos dipenuhi dengan komentar tentang rekam jejak sang calon yang diajukan Jokowi. Ditengah kehebohan publik, tiba-tiba KPK menetapkan sang calon sebagai tersangka.
Uniknya, meskipun sudah berstatus sebagai tersangka, sang calon tetap mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di depan Komisi III DPR-RI. Hasilnya, DPR-RI menyetujui calon tunggal Kapolri yang diajukan Jokowi. Kata para pengamat, bola panas dikembalikan DPR-RI ke tangan Jokowi.
Akibatnya, “turbulensi” makin mengguncang “pesawat” yang dipiloti Jokowi. Bukan hanya crew yang terguncang, rakyat pun dibuat bingung. Pernyataan dan komentar crew maupun rakyat silih berganti mengisi halaman media sosial, dan media mainstream.
Tiba-tiba isu rumah kaca mengapung berdasarkan sebuah tulisan di Kompasiana. Isu inipun menjadi topik paling hangat yang diulas media minggu ini. Kondisi ini benar-benar membingungkan publik, siapa sesungguhnya yang benar.
Ditengah kebingungan itu, Jumat (23/1/2014), tiba-tiba menyeruak berita yang sangat menghebohkan. Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, ditangkap. Indonesia makin heboh. Tidak lama kemudian, halaman medsos dipenuhi tagar #SaveKPK. Bahkan, trending topic tertinggi di twitter hari ini diisi oleh #SaveKPK. Semua bertanya-tanya, ada apa dengan elite-elite di Jakarta?
Guncangan demi guncangan terus mengubah konstelasi politik nasional. Massa dan tokoh pendukung utama Jokowi saat Pilpres yang lalu, terlihat mulai merapat ke gedung KPK. Melalui media televisi, mereka berbicara tentang upaya menyelamatkan KPK.
Dikhawatirkan, “turbulensi” ini bukan hanya mengguncang crew dan para penumpang, tetapi bisa membuat sang pilot mabok udara. Bayangkan, bagaimana seorang pilot yang sedang muntah bisa mengendalikan pesawat ditengah “turbulensi” hebat?
Terlepas dari kemungkinan muntahnya pilot dan kru akibat ‘turbulensi” dan konstelasi politik yang terus berubah, siang tadi pengguna akun twitter @budionodarsono menulis kalimat menarik. Isinya: “Kepemimpinan Jokowi sedang diuji, yang akhirnya membuktikan: Dia presiden atau hanya sekadar petugas partai.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H