Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Indonesia Hebat, Orang Asing Disubsidi Rp6 Jutat/Bulan!

29 Desember 2012   14:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:50 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika DPR-RI menolak kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu, esoknya sebuah partai politik di kota tempat saya tinggal, memasang sebuah spanduk di pusat pasar sayur. Spanduk itu kira-kira berbunyi bahwa partai merekalah yang berjuang di Senayan sehingga BBM tidak jadi dinaikkan. Para pedagang sayur yang membaca spanduk itu terkagum-kagum terhadap partai tersebut yang “seolah-olah” telah membela rakyat.

Saya jadi bingung dan heran, kok tega-teganya partai politik itu “membodohi” pemilihnya. Harusnya, partai politik sebagai elemen pendidikan politik wajib menyampaikan logika kebenaran agar rakyat makin cerdas. Partai itu malah bangga terhadap subsidi BBM yang telah menguras uang rakyat sebesar Rp.300 Trilyun per tahun. Seharusnya, dengan uang sebesar Rp. 300 Trilyun itu dapat digunakan untuk subsidi beras dan bahan pokok sehingga kebutuhan pangan rakyat tetap terjamin.

Siapa sebenarnya yang paling besar menerima manfaat dari subsidi BBM? Seperti dikatakan Hanung Budya, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina melalui Detik Finance (Jumat, 28/12/2012) bahwa ratusan trilyun dana subsidi BBM ternyata dinikmati oleh orang yang tidak berhak. Bahkan, kata Hanung, orang asing di Indonesia menikmati subsidi BBM Rp.6 juta/bulan, sementara petani hanya Rp.12 ribu/bulan.

Tambah Hanung, orang asing malah jauh lebih banyak menikmati BBM subsidi dibandingkan rakyat Indonesia. Contoh, orang asing khususnya para diplomat, rata-rata memiliki 1 mobil Lexus, 1 mobil Alphard untuk isterinya, 1 mobil Innova untuk anaknya, dan 1 mobil Avanza untuk pembantunya. Setiap sabtu-minggu, mereka rutin pergi ke lapangan golf di Bogor atau Bandung. Dua mobil tersebut (Innova dan Avanza) bolak balik perharinya menghabiskan premium 40 liter (minimal), kemudian dikalikan sebulan sudah 1.200 liter, lalu dikalikan subsidi BBM Rp. 5.000 per liter. Artinya mereka mendapat subsidi Rp. 6 juta per bulan.

Indonesia hebat, salut! Orang asing disubsidi Rp. 6 juta per bulan, orang kaya juga disubsidi kurang lebih sebesar itu. Padahal, uang untuk subsidi BBM itu berasal dari pajak pertambahan nilai (Ppn) dan pajak lainnya yang dibayar oleh rakyat kecil, misalnya saat meminum teh botol atau saat menghisap sebatang rokok. Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pernyataan Hanung Budya tadi bahwa subsidi BBM merupakan sebuah ironi.

Wajar sekali jika Ahok (Wagub DKI Jakarta) berkeinginan menghilangkan premium (BBM bersubsidi) dari Jakarta. Sepertinya, Ahok sangat menyadari bahwa BBM bersubsidi lebih banyak dinikmati oleh orang-orang berduit, sementara rakyat kecil hanya menikmati subsidi sebesar Rp.12.000 per bulan. Diawal langkah Ahok, dia pasti mendapat banyak tantangan dari pengguna BBM, terutama mereka yang terlanjur telah merasakan nikmatnya BBM bersubsidi. Sebuah perubahan besar pasti mendapat tantangan dua kali lebih besar. Percayalah, tantangan itu akan sirna dengan angin kemakmuran yang datang pelan-pelan. Badai pasti berlalu.

Anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp.300 Trilyun bukan sedikit, lho! Kalau uang sejumlah itu didepositokan dengan suku bunga 0,5% per bulan, maka setiap bulan negara akan mendapat bunga sebesar Rp. 150 Milyar. Dengan penerimaan dari bunga sebesar Rp. 150 Milyar per bulan, maka negara bisa memberi tunjangan sosial 150.000 kepala keluarga (KK) rakyat sangat miskin, rata-rata sebesar Rp.1 juta per bulan. Ini salah satu skema jika dana subsidi BBM itu dialihkan untuk tunjangan sosial orang yang sangat miskin.

Apabila skema tunjangan sosial dianggap kurang tepat, kenapa tidak, subsidi BBM Rp.5000 per liter dialihkan untuk subsidi beras, juga Rp. 5000 per Kg. Kalau harga beras Rp.10.000 per Kg, maka seluruh rakyat Indonesia dapat membeli beras Rp. 5000 per Kg. Disisi lain, pemerintah harus membeli beras (gabah) produksi petani dengan harga standar, misalnya satu kilogram beras Rp.10.000. Dalam posisi ini, petani tidak dirugikan bahkan diuntungkan karena berapapun produksi beras mereka tetap dibeli oleh pemerintah (Bulog).

Jumlah konsumsi beras berbeda dengan konsumsi BBM. Beras yang dikonsumsi orang kaya maupun orang miskin sama jumlahnya, malah orang kaya cenderung mengurangi konsumsi karbohidrat. Ini artinya, orang kaya atau orang asing tidak mungkin mengkonsumsi beras sampai 40 Kg per hari sebagaimana mereka mengggunakan BBM bersubsidi. Kalau dalam hal penggunaan BBM, orang kaya rata-rata memakai BBM sebanyak 40 liter per hari untuk beberapa mobilnya, sedangkan orang miskin paling-paling 2,5 liter per bulan dalam bentuk ongkos ojek.

Oleh karena itu, saya berpikir, sudah saatnya kita cerdas melihat manfaat dan mudharat dari subsidi BBM (bukan bermaksud membela Jero Wacik). Memang, naiknya harga BBM berdampak kepada naiknya harga barang. Nyatanya, harga BBM tidak naik, namun harga barang juga tidak pernah turun. Ini yang aneh. Lebih baik harga barang naik sekaligus, tetapi untuk seterusnya stabil. Dalam situasi harga barang naik, dana subsidi BBM tadi digunakan untuk subsidi beras. Meskipun harga barang lain naik, namun harga beras tetap murah. Rakyat tetap bisa makan, negara aman.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun