[caption id="attachment_188803" align="aligncenter" width="300" caption="Angkot menunggu penumpang di Terminal Kampung Melayu (Foto: okezone.com) "][/caption] Siapa bilang ibukota tidak kejam, tanpa uang, warganya bisa jadi gelandangan. Makanya tidak heran ada lagu yang mempertanyakan “sapa suruh datang Jakarta.” Selain itu, sangat benar pameo orang-orang yang gagal di ibukota yaitu “sekejam-kejamnya ibu tiri, ternyata lebih kejam ibukota.”
Namun, orang makin nekad untuk mengadu nasib ke Batavia, bahkan menurut tulisan Kompasdotcom (1/9/2011) sebanyak 50 ribu pendatang baru sesaki Jakarta. Ini membuktikan bahwa kepada semua orang, meskipun Jakarta itu kejam tetapi orang selalu merindukannya. Apa sebenarnya yang dapat dijanjikan oleh Jakarta? Tentu lapangan kerja yang melimpah.
Padahal, bagi para pemilik mobil, begitu mulai bergerak dan keluar rumah berarti kantong mulai bocor. Dia harus menyediakan uang untuk tol, bahan bakar minyak, parkir, uang receh untuk pak ogah, dan biaya makan selama di perjalanan.
Apabila ingin dihitung, sekitar Rp.50 ribu lebih pasti terkuras dari kantongnya. Bisa dibayangkan, jika pendapatan mereka yang tinggal di Jakarta kurang dari Rp.100 ribu per hari, barangkali untuk makan saja kesulitan apalagi mau cari kontrakan yang memadai. Inilah yang menyebabkan orang mengatakan ibukota itu kejam!
Tersedotnya uang untuk biaya transportasi bukan hanya dialami para pemilik mobil dan motor. Masyarakat biasa yang menggunakan jasa angkutan umum juga harus menyediakan uang untuk ongkos dan makan siang paling kurang Rp.20 ribu. Sebaliknya, pendapatan yang mereka peroleh dari aktivitas hariannya lebih besar sedikit dari biaya transportasi dan makan siang. Demikian dituturkan MN Irwandi (32) seorang pecatur bergelar Master Nasional yang pernah malang melintang di jalanan Jakarta, Senin (18/6) siang, di Cafe Batas Kota Takengon.
[caption id="attachment_188875" align="aligncenter" width="640" caption="MN Irwandi, pecatur jalanan yang pernah tidur dibawah jembatan layang Jatinegara karena kehabisan uang."]
Jangan heran, gara-gara uang seribu orang bisa saling tusuk menusuk sampai mati di Jakarta. Makanya jika ada orang minta uang seribu dua ribu, kalau ada, lebih baik berikan saja daripada berujung kepada kekerasan yang kerugiannya bisa mencapai jutaan rupiah.
“Di Jakarta ada orang yang sangat kaya dan ada pula orang yang sangat miskin. Ada orang yang tinggal di apartemen sangat mewah, ada pula yang tidur dibawah jembatan beralaskan kertas koran,” sebut pecatur yang sering tidur dibawah jembatan layang Jatinegara.
Irwandi melanjutkan, walaupun ibukota itu kejam, ternyata toleransi diantara orang-orang susah cukup tinggi di sana. Pernah suatu waktu dia tidak memiliki uang sepeserpun, dan belum makan sejak pagi. Hari itu, beberapa kali dia kalah di lapak catur sehingga seluruh isi kantongnya terkuras habis.
Untuk pulang ke rumah kontrakannya di kawasan Manggarai, dia tidak punya ongkos sama sekali. Tetapi dia harus pulang untuk mengisi perut yang sudah sangat perih. Di ranselnya selalu tersedia sebuah map folio kumal yang berisi foto copy ijazah dan surat permohonan. Map folio itu menjadi alat terakhir untuk bisa pulang ke rumah dengan menumpang angkot.
Ketika menumpang angkot dari Terminal Jatinegara menuju Terminal Manggarai, dipegangnya map folio kumal itu ditangannya. Saat kondektur angkot meminta ongkos, Irwandi memperlihatkan map folio kumal itu kepada si kondektur sambil mengatakan “sedang cari kerja mas!”
Irwandi juga memperlihatkan isi kantongnya yang kosong sama sekali. Akhirnya Irwandi tidak dipungut ongkos oleh kondektur itu. Sampailah dia ke Terminal Manggarai tanpa harus membayar ongkos angkot. “Kalau kita bohong dan ketahuan punya duit, bisa penyok digebuk kondektur dan awak angkot,” ungkapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H