Keterangan foto: Kepala SDN 9 Takengon dalam acara pembagian rapor siswa [Foto: dokpri]
Perkelahian antar siswa merupakan sebuah problem [hampir] disetiap sekolah. Lebih-lebih dalam ruang kelas itu sedang tidak ada guru, anak-anak yang tergolong nakal akan “mengerjai” anak yang dianggap lemah [sasaran bully]. Bisa dengan pukulan, sering pula berbentuk guyonan bernada ejekan. Misalnya, memanggil si anak dengan plesetan nama orang tuanya.
Memplesetkan nama orang paling dihormati bagi seorang anak sekolah dasar [SD] sama dengan menabuh genderang perang. Meskipun plesetan itu sekedar guyonan, tetapi anak usia SD belum bisa membedakan guyonan dan ejekan. Bagi mereka, menyebut-nyebut nama orang tuanya sama dengan menghina bapak atau ibunya. Emosi seorang anak tersulut, mereka harus melawan, maka terjadilah perkelahian.
Di Aceh Tengah, perkelahian siswa di tingkat SD sering bermula dari memplesetkan nama orang tua. Sakralkah nama orang tua sampai membuat seorang anak siap berkelahi? Nama orang tua adalah lambang kehormatan bagi seorang anak.
Buktinya, seorang bapak di Aceh Tengah jarang dipanggil dengan nama asli, tetapi dipanggil dengan nama “peraman,” misalnya Aman Adi [artinya bapak si adi], Aman Siti [bapak si siti]. Si anak bahkan jarang mengetahui nama asli orang tuanya, maka dia marah disebut-sebut nama orang tuanya, apalagi kalau diplesetkan.
Cerita ini saya peroleh dari penuturan si bungsu, waktu dia masih duduk di kelas IV SDN 9 Lut Tawar Takengon. Sepulang sekolah, dia melaporkan sebuah perkelahian yang terjadi disekolahnya. Penyebabnya karena temannya merasi [memplesetkan] nama orang tua seorang temannya. Lalu, temannya marah lantaran nama bapaknya diplesetkan. Terjadilah perkelahian di halaman sekolah.
“Pak Kepala sekolah nggak marah,” kata si bungsu.
“Terus nggak dilerai juga?” tanya saya penasaran.
“Nggak, pak kepala hanya senyum,” jawab si bungsu.
“Lha, kan anak-anak itu tambah berkelahi,” ujar saya.
“Nggak, teman adik malah berhenti berkelahi,” kata si bungsu.