Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Elpiji Melambung, Warga Kembali Gunakan Kayu Bakar

4 Januari 2014   00:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_303649" align="aligncenter" width="688" caption="Memasak dengan kayu bakar sudah menjadi tradisi. Kini, Elpiji naik, petani kembali gunakan kayu bakar. (Foto: Malsi Daud)"][/caption] Memasuki tahun baru 2014, rakyat Indonesia mendapat kado “istimewa” dari Pemerintah. Kado “istimewa” itu semacam kejutan awal tahun atas naiknya harga Elpiji. Pendadakan ini membuat warga yang sudah terlanjur menggunakan Elpiji sebagai bahan bakarnya, benar-benar dibuat kalang kabut. Tidak ada sinyal atau tanda-tanda dari Pemerintah bahwa Elpiji akan naik sebesar Rp. 50 ribu, dari sebelumnya hanya Rp. 85 ribu per tabung ukuran 12 Kg. Sayangnya, seperti dirilis TVOne, Pemerintah melalui Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengaku tidak bisa mengintervensi kenaikan harga Elpiji ukuran 12 Kg. Kenaikan ini, tambah Hatta Radjasa, sepenuhnya menjadi kewenangan korporasi dalam hal ini RUPS Pertamina. Pemerintah hanya bisa mengintervensi harga Elpiji ukuran 3 Kg, karena untuk jenis ini mendapat subsidi Pemerintah. Kenyataannya, bukan hanya harga Elpiji ukuran 12 Kg yang melonjak, tetapi Elpiji ukuran 3 Kg ikut menipis di pasaran. Elpiji ukuran 3 Kg yang merupakan bagian dari program konversi minyak tanah ke gas, malah hilang dari pasaran. Memang harganya tidak naik, tetap Rp.20 ribu per Kg, tetapi para pengguna tabung 12 Kg kini beralih ke tabung 3 Kg. Inilah yang menyebabkan stok Elpiji ukuran 3 Kg makin menipis. Bagi warga Aceh Tengah, menggunakan bahan bakar Elpiji untuk memasak baru mereka lakukan sekitar dua tahun lalu. Ketika program konversi minyak tanah ke gas, banyak warga yang berkeberatan karena mereka sudah secara turun temurun memasak dengan kayu bakar. Lebih-lebih setelah media televisi menyiarkan tentang banyaknya tabung 3 Kg yang meledak, membuat mereka makin takut. Mereka lebih suka menggunakan kayu bakar untuk memasak. Oleh karena itu, mengajak mereka menggunakan gas sebagai bahan bakar untuk memasak, sebenarnya setengah “dipaksa” demi suksesnya program Pemerintah Pusat. Tidak mengherankan jika Kabupaten Aceh Tengah termasuk salah satu kabupaten terakhir yang berhasil melakukan konversi minyak tanah ke gas. Setelah dua tahun menggunakan Elpiji sebagai bahan bakar, mereka mulai familier dan menyukainya karena tidak menimbulkan asap. Malah karena cukup familier dengan Elpiji, warga di pedesaan Aceh Tengah yang tinggal ditengah ladang kopi, rata-rata sudah beralih dari tabung ukuran 3 Kg ke tabung ukuran 12 Kg. Alasannya, rumahnya jauh dari distributor gas Elpiji sehingga tidak mungkin sebentar-bentar turun gunung hanya untuk membeli Elpiji ukuran 3 Kg. “Gas 12 Kg itu tahan sebulan, jadi kami turun dari ladang sebulan sekali, beli gas sambil belanja kebutuhan pokok,” kata Ahmad warga Pucuk Deku, Kecamatan Bies, Aceh Tengah, Jumat (3/1/2014). [caption id="attachment_303650" align="alignright" width="300" caption="Memasak dengan kayu bakar, tradisi turun temurun. (Foto: Malsi Daud)"]

13887713711804312720
13887713711804312720
[/caption] Begitu mengetahui harga gas Elpiji 12 Kg naik menjadi Rp.135 ribu per tabung, Ahmad membatalkan rencananya untuk membeli gas. Dia dan beberapa tetangganya mulai memperbaiki tungku pembakaran (dapur) yang dua tahun lalu sudah ditinggalkan. “Kalau begini ceritanya kan lebih hemat menggunakan kayu bakar daripada Elpiji. Dulu pun kami memasak dengan kayu bakar, Pemerintah aja yang paksa kami masak dengan gas,” sebut Ahmad, kesal. Bagi warga yang tinggal di ladang, stok kayu bakar sangat berlimpah disana. Sumber kayu bakar itu berasal dari sisa peremajaan dan pemangkasan kopi, lamtoro dan tanaman pelindung lainnya. Selama ini, ranting dan cabang sisa peremajaan dan pemangkasan itu dibiarkan membusuk di ladang mereka. Sejak harga Elpiji naik, mereka mulai mengumpulkan kayu-kayu itu dari ladangnya, lalu ditumpuk di teras rumah mereka.. Kelihatannya, mereka sudah kapok menggunakan Elpiji yang harganya terus melonjak. Mereka merasa Pemerintah tidak konsisten dengan program konversi minyak tanah ke gas. Lagi pula, sebut Ahmad, rasa nasi yang ditanak dengan kayu bakar lebih gurih dibandingkan dengan Elpiji. Kemudian, baranya bisa mereka gunakan untuk menghangatkan badan ditengah suhu udara Aceh Tengah yang dingin. “Dengan beralih ke kayu bakar, sebenarnya kami bisa menghemat uang Rp. 135 ribu per bulan. Lumayan, bisa beli sekarung beras,” pungkas Ahmad, lelaki paruh baya itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun