[caption id="attachment_360201" align="aligncenter" width="450" caption="ilustrasi KOINKU (Foto: OJK)"][/caption]
Indonesia memiliki banyak orang-orang kreatif dan berprestasi. Salah satunya, Amri Irawan (20), seorang buruh bangunan dari Desa Bies Mulie Aceh Tengah. Dari upahnya sebagai buruh bangunan, dia dapat mengikuti kuliah di Prodi Teknik Informatika pada FT Universitas Gajah Putih Takengon sejak tahun 2011.
Apa kerja kreatif yang dilakukannya? Hasil tugas kuliah praktek kerja lapangan (PKL) di BPRS Renggali Takengon, akhir Agustus 2014 lalu, dikembangkannya menjadi sebuah aplikasi untuk meningkatkan akses perbankan. Pengembangan aplikasi bertajuk: “Aplikasi T-rek Untuk Meningkatkan Jasa Perbankan di Kabupaten Aceh Tengah,” juga dibiayai dari upahnya sebagai buruh bangunan.
Untuk menguji keandalannya, Amri Irawan bersama Ahmad Hajuddin Sufi dan Irhaman mendaftarkan aplikasi itu dalam Kompetisi Inklusi Keuangan (KOINKU) 2014 yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasilnya diluar dugaan, aplikasi itu dinilai OJK sebagai salah satu aplikasi terbaik, sehingga berhak masuk babak final bersama 5 aplikasi lainnya untuk kategori akademisi.
David vs Goliath
Siapa saja lawan Amri dkk di babak final itu? Fatiya Rumi Humaira dari Universitas Indonesia, Dyah Savitri Pritadrajati dari UGM, Wirawan Adjie Prabowo dari UGM, Ratna Juwita dari Universitas Indonesia, dan Syamsul Irfan dari ITS Surabaya.
Babak final yang seru karena mahasiswa “ndeso” plus buruh bangunan dari universitas swasta harus menghadapi mahasiswa dari universitas ternama dan bergengsi di Indonesia. Babak final ini seperti pertarungan antara David dan Goliath dalam kisah nabi-nabi.
Mereka akan tampil satu panggung mempresentasikan hasil karyanya di depan dewan juri pada hari Jumat (19/12/2014) di Gedung Menara Merdeka Jalan Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta Pusat. Kehadiran para finalis itu ke Jakarta sepenuhnya dibiayai oleh OJK, dan para pemenangnya akan mendapat hadiah uang serta sertifikat.
Lalu, apa yang menginspirasi guru ngaji dari Desa Bies Mulie tersebut sampai melahirkan aplikasi itu? Menurut Zulfikar Ahmad ST, pembimbing sekaligus dosen FT Universitas Gajah Putih, bermula dari karyawan BPRS Renggali selaku pembimbing PKL-nya mengajak Amri mengunjungi nasabah bank milik Pemda itu di seluruh wilayah Aceh Tengah.
ATM Kampung
Nasabah BPRS itu adalah para pedagang pengumpul yang membuka kios dan warung sembako di desanya. Kehadiran para pedagang ini ditengah-tengah masyarakat layaknya mesin ATM tanpa kartu. Warga kapan saja bisa menjual hasil bumi, pinjam uang dan barang dari pedagang ini. Transaksi ini didasari atas rasa saling percaya antar warga, sedangkan mereka yang curang otomatis tereleminasi dengan sendirinya.
Itulah wujud ATM Kampung, ATM tanpa kartu ATM yang bisa mengeluarkan uang meskipun saldonya nol. Bisa memperoleh dan meminjam uang kapan saja, baik siang maupun malam hari. Tradisi itu yang menginspirasi Amri dkk membangun aplikasi tersebut.
“Seandainya di Desa Bies Mulie tersedia jaringan internet gratis, barangkali yang ada disana bukan lagi ATM kampung, tetapi kampung ATM,” ungkap Zulfikar Ahmad penuh optimis.
Menyangkut detil Aplikasi T-rek Untuk Meningkatkan Jasa Perbankan di Kabupaten Aceh Tengah, Zulfikar mempersilakan untuk menyaksikan langsung presentasi anak didiknya di Gedung Menara Merdeka.
Harapannya hanya satu, dia memohon doa dari para mahasiswa Universitas Gajah Putih Takengon dan seluruh rakyat Kabupaten Aceh Tengah, semoga Amri dkk berhasil meraih juara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H