[caption caption="Dokter Eddi Junaidi SpOG, dokter yang menyediakan angkutan ternyaman untuk warga kampungnya [Foto: dokpri]"][/caption]Benarkah seorang dokter bersedia menginvestasikan uangnya untuk bisnis transportasi darat? Awalnya saya belum percaya. Lazimnya, seorang dokter akan menanam modal pada sebuah usaha rumah sakit atau klinik. Kalaupun benar menanam modal untuk bisnis transportasi, pasti ada alasan khusus. Cukup lama menunggu untuk bisa bertemu dengan dokter ini, sayangnya dia bermukim di Jakarta, sangat jauh dari Takengon Aceh Tengah.
Malam itu, Rabu [24 Februari 2016], saya menumpang angkutan umum Taradita untuk perjalanan menuju Bandara Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh. Saya memilih bangku paling belakang supaya bisa tidur selama dalam perjalanan. Menjelang keberangkatan, naik dua orang lelaki mengisi dua bangku kosong disisi kanan saya, yang satu bertumbuh jangkung dan satu lagi lebih pendek.
Dalam perjalanan menerobos gelapnya malam di celah-celah pegunungan Dataran Tinggi Gayo, lelaki bertubuh pendek itu menelepon seseorang. Dia memberitahukan bunyi berisik yang menyebabkan penumpang tidak nyaman. Dia memberi instruksi agar memberi bantalan karet pada per kenderaan untuk meredam bunyi. Dari bentuk kalimat perintah yang disampaikannya, saya dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu adalah si pemilik perusahaan.
Setelah itu, saya tertidur pulas sepanjang perjalanan. Sekitar pukul 24.00 WIB, saya terbangun saat si driver menghentikan mobil di halaman sebuah rumah makan. Satu jam istirahat disana, kemudian mobil itu melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Sekali lagi, saya terbangun ketika mobil itu memasuki komplek Bandara Sultan Iskandar Muda. Saya melirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 04.30 WIB. “Kalau secepat ini tibanya, harusnya bisa mengambil penerbangan pukul 07.00 WIB,” bisik hati saya.
Sambil menunggu masuknya waktu subuh [untuk wilayah Banda Aceh pukul 05.30 WIB], saya berbincang-bincang dengan Pak Caca di kantin bandara. Jadwal terbang kami sama, pukul 10.25 WIB. Sesaat kemudian bergabung dua lelaki tadi, si pemilik angkutan, dan seorang montir asal Malaysia. Banyak hal yang kami bincangkan, dan hal yang paling menarik ketika lelaki bernama lengkap dr. Eddi Junaidi, SpOG mengisahkan motivasinya menanam modal dibidang transportasi darat.
Bermula saat dia dan keluarganya pulang mudik ke Takengon, Aceh Tengah. Setelah mendarat di Bandara Blang Bintang, lalu mereka menumpang angkutan minibus [L-300] trayek Banda Aceh – Takengon. Dia pernah mencari angkutan umum yang nyaman dan full-AC yang menuju ke Takengon, tetapi tidak tersedia. Sangat gerah menumpang minibus non-AC ditengah cuaca Provinsi Aceh yang cukup panas. Bangkunya cukup sempit, lutut nyaris bertemu dengan bangku didepanya, ditambah aroma bau badan penumpang yang bisa membuat perut mual. Semakin tidak nyaman ketika minibus itu memasuki ruas jalan Bireuen-Takengon yang penuh lubang dan tikungan. Lengkap penderitaannya.
“Kapan.... orang-orang di kampungku bisa menikmati angkutan yang nyaman dan full-AC?” itulah sepotong mimpi dari seorang Eddi Junaidi, lelaki kelahiran Takengon Aceh Tengah.
Setahun lalu, dokter ini mengoperasionalkan 6 unit minibus jenis Toyota Hiace dibawah bendera PT Taradita Utama Prima. Trayeknya Banda Aceh-Takengon pulang pergi, serta Banda Aceh-Tapak Tuan pulang pergi. Kehadiran minibus berbadan lebar ini mendapat sambutan positif, terbukti cukup disukai oleh para penumpang. Kenapa, kabinnya lebih lapang dan nyaman [10 penumpang], full-AC, mudah memboking tiket [cukup via SMS], tepat waktu, dan driver tidak dibenarkan menaikkan penumpang di perjalanan.
“Kenapa drivernya cukup disiplin?” tanya saya.
“Mobil itu dilengkapi dengan CCTV, saya bisa pantau mereka. Kalau driver melanggar aturan perusahaan pasti ketahuan. Langsung kita berhentikan,” jelas Eddi.
“Memangnya berapa gaji seorang driver?” tanya saya penasaran.