Selesai gowes keliling kota, saya mampir ke warung kopi Sudi Mampir di Pasar Bale Atu Takengon. Warung kopi itu tidak terlalu istimewa, menunya biasa, kopinya masih menggunakan saringan kain. Sebuah warung kopi tradisional tetapi selalu penuh, khususnya pada hari Minggu.
Mereka yang nangkring di warung kopi itu berasal dari semua strata sosial. Disana akan ditemukan mulai para pengangguran sampai usahawan sukses, ada buruh, banyak juga pejabat dan politisi. Berkumpulnya para tokoh dari berbagai strata menjadi daya tarik tersendiri bagi warung kopi itu.
Niat saya mampir ke warung kopi itu bukan untuk menikmati sensasi aroma kopi, tetapi mencari mitra diskusi. Minggu pagi itu, semua meja sudah terisi, kecuali satu kursi kosong yang sebelumnya sudah diisi dua orang usahawan yang tergolong sukses di kota dingin itu.
Sebenarnya, saya ingin nangkring dengan para politisi lokal, sebab mereka mempunyai banyak untold story. Namun usahawan itu lebih dahulu mempersilahkan saya duduk semeja dengan mereka. Mereka adalah sosok yang cukup dikenal di daerah itu, usahawan sukses pemilik sejumlah toko grosir.
Awalnya, saya kurang nyambung dengan topik yang sedang dibahas dua orang itu. Mereka nampak sangat serius membincangkan cara melunasi cicilan hutang ditengah kondisi turunnya daya beli. Sebenarnya, saya kurang tertarik mendengar obrolan tentang hutang dan kredit, tetapi tiada pilihan lain.
Tiba-tiba obrolan itu cukup menarik ketika mereka mengeluh atas tekanan para pemberi kredit. Masalahnya, para pemberi kredit terus menawarkan produknya seperti kartu kredit, asuransi, bahkan tambahan kredit baru. Usahawan itu ingin menolak tetapi sungkan, padahal kredit yang lama belum lunas.
Belum lagi saat lembaga pemberi kredit itu ulang tahun atau mengadakan acara, usahawan itu diminta menyediakan papan bunga, hadiah lucky draw, dan sebagainya. Memberatkan memang, kata usahawan itu, tetapi mau bagaimana lagi, sudah menjadi nasib seorang pengutang.
Bangsa ini pun mirip seperti nasib kami, selalu berada dibawah tekanan para pemberi pinjaman. Pinjaman yang satu belum lunas sudah ditawarkan pinjaman yang lain. Menolak sungkan, menerima berarti bertambah utang. Kita [seolah-olah] dengan sengaja diposisikan sebagai bangsa nasabah. Diupayakan dengan berbagai cara agar terjerat hutang selamanya.
Kami sudah merasakan bahwa peminjam itu berada pada posisi paling lemah, sebaliknya pemberi pinjaman layaknya seorang majikan, kata usahawan itu. Menolak kemauan pemberi pinjaman, tidak ada modal. Jangan heran apabila rencana dan kebijakan bisnis harus didasarkan atas rekomendasi si pemberi pinjaman.
Alasannya supaya tidak terjadi kredit macet, maka rencana dan kebijakan bisnis harus ramah pasar. Masuk akal memang, meskipun sebenarnya semacam "akal-akalan" dari sindikat bisnis yang terkait dengan si pemberi pinjaman. Itulah nasib bangsa nasabah, bangsa yang terjajah di negeri melimpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H