Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Derita Bangsa Nasabah

14 Desember 2014   20:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai gowes keliling kota, saya mampir ke warung kopi Sudi Mampir di Pasar Bale Atu Takengon. Warung kopi itu tidak terlalu istimewa, menunya biasa, kopinya masih menggunakan saringan kain. Sebuah warung kopi tradisional tetapi selalu penuh, khususnya pada hari Minggu.

Mereka yang nangkring di warung kopi itu berasal dari semua strata sosial. Disana akan ditemukan mulai para pengangguran sampai usahawan sukses, ada buruh, banyak juga pejabat dan politisi. Berkumpulnya para tokoh dari berbagai strata menjadi daya tarik tersendiri bagi warung kopi itu.

Niat saya mampir ke warung kopi itu bukan untuk menikmati sensasi aroma kopi, tetapi mencari mitra diskusi. Minggu pagi itu, semua meja sudah terisi, kecuali satu kursi kosong yang sebelumnya sudah diisi dua orang usahawan yang tergolong sukses di kota dingin itu.

Sebenarnya, saya ingin nangkring dengan para politisi lokal, sebab mereka mempunyai banyak untold story. Namun usahawan itu lebih dahulu mempersilahkan saya duduk semeja dengan mereka. Mereka adalah sosok yang cukup dikenal di daerah itu, usahawan sukses pemilik sejumlah toko grosir.

Awalnya, saya kurang nyambung dengan topik yang sedang dibahas dua orang itu. Mereka nampak sangat serius membincangkan cara melunasi cicilan hutang ditengah kondisi turunnya daya beli. Sebenarnya, saya kurang tertarik mendengar obrolan tentang hutang dan kredit, tetapi tiada pilihan lain.

Tiba-tiba obrolan itu cukup menarik ketika mereka mengeluh atas tekanan para pemberi kredit. Masalahnya, para pemberi kredit terus menawarkan produknya seperti kartu kredit, asuransi, bahkan tambahan kredit baru. Usahawan itu ingin menolak tetapi sungkan, padahal kredit yang lama belum lunas.

Belum lagi saat lembaga pemberi kredit itu ulang tahun atau mengadakan acara, usahawan itu diminta menyediakan papan bunga, hadiah lucky draw, dan sebagainya. Memberatkan memang, kata usahawan itu, tetapi mau bagaimana lagi, sudah menjadi nasib seorang pengutang.

Bangsa ini pun mirip seperti nasib kami, selalu berada dibawah tekanan para pemberi pinjaman. Pinjaman yang satu belum lunas sudah ditawarkan pinjaman yang lain. Menolak sungkan, menerima berarti bertambah utang. Kita [seolah-olah] dengan sengaja diposisikan sebagai bangsa nasabah. Diupayakan dengan berbagai cara agar terjerat hutang selamanya.

Kami sudah merasakan bahwa peminjam itu berada pada posisi paling lemah, sebaliknya pemberi pinjaman layaknya seorang majikan, kata usahawan itu. Menolak kemauan pemberi pinjaman, tidak ada modal. Jangan heran apabila rencana dan kebijakan bisnis harus  didasarkan atas rekomendasi si pemberi pinjaman.

Alasannya supaya tidak terjadi kredit macet, maka rencana dan kebijakan bisnis harus ramah pasar. Masuk akal memang, meskipun sebenarnya semacam "akal-akalan" dari sindikat bisnis yang terkait dengan si pemberi pinjaman. Itulah nasib bangsa nasabah, bangsa yang terjajah di negeri  melimpah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun