Keterangan foto: Salily, dibawah pajangan foto putra putrinya yang menggunakan toga [foto: dok pribadi]
Sulit membayangkan, seorang janda beranak delapan sukses membesarkan dan menyekolahkan semua anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dalam posisi sebagai single parent, terbatasnya sumber penghasilan, biaya pendidikan anak terus meningkat, masa depan sekolah anaknya pasti akan tercecer. Bagaimana tidak, mampu bertahan hidup ditengah harga barang yang terus melonjak, itu sudah tergolong kemajuan luar biasa bagi seorang single parent.
Tidak demikian bagi Salily Inen Fadilah (65), janda yang ditinggal mati suami tahun 1996. Tanpa warisan dan harta yang memadai, perempuan ini dan kedelapan anaknya, berhasil bertahan hidup. Bukan itu saja, dia mampu membiayai pendidikan anak sampai bangku perguruan tinggi. Sukses itu dicapainya dari hasil kebun kopi yang kurang dari sehektar, disokong oleh prinsip berhemat dan menahan selera konsumtif.
“Saya bahkan tidak tega minum cendol dan makan di warung, lantaran uang itu bisa menambah biaya sekolah anak-anak,” ungkap Salily, 28 Oktober 2015 di rumahnya, sebuah bangunan sederhana berdinding papan di Tansaril, Aceh Tengah.
Sepeninggal suami, seorang guru Madrasah Tsanawiyah, dia memang memperoleh tunjangan pensiun janda. Nilai nominalnya sangat kecil, tidak cukup untuk biaya hidup sebulan, apalagi untuk membiayai pendidikan mereka. Lebih-lebih saat suaminya meninggal dunia, kedelapan anaknya masih belajar di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah. Mereka sedang memasuki masa pertumbuhan yang membutuhkan biaya cukup besar.
Awalnya, perempuan ini nyaris putus asa. Sebagai seorang yang beragama, dia sangat yakin bahwa Sang Khalik akan memberikan kemudahan dalam membesarkan kedelapan anak yatim itu. Benar, jalan itu terbuka. Penganan [kue] yang dititipkan ke warung-warung disekitar rumahnya, ternyata laris manis. Kebun kopi yang berada sekitar dua kilometer dari rumahnya, ternyata menghasilkan kopi, jeruk dan sayuran.
Itulah sumber penerimaan rutin janda beranak delapan itu. Dari hasil penjualan kue dan hasil kebun itu, mereka bertahan hidup. Sisa uang itu disisihkan sebagai bagian dari rencana membiayai pendidikan anak. Lembaran rupiah itu dikumpulkan sedikit demi sedikit, lalu disimpan dibawah lipatan baju, dalam lemari kusam di kamarnya. Itulah uang yang dipersiapkan untuk masa depan kedelapan anaknya. Sulit memang, tetapi semangat untuk membesarkan delapan anak yatim itu, membuatnya tetap kuat dan tegar.
“Alhamdulillah, uang dibawah lipatan baju itu berkat, tidak pernah hilang,” kata Salily.
Menyimpan uang dibawah lipatan baju, tradisi turun temurun warga perdesaan. Tradisi ini mengkristal akibat terbatasnya jangkauan pelayanan dunia perbankan. Belum ada bank unit desa di kampungnya, apalagi mobile banking atau sms banking. Pada waktu itu, hanya ada dua bank konvensional, itu pun letaknya di kota Takengon. Bercerita tentang asuransi pendidikan, sama sekali belum pernah dikenal perempuan ini. Dalam pandangannya, asuransi hanya untuk pertanggungan kematian, bukan untuk pendidikan anak.
Bagi Salily, termasuk perempuan lain di perdesaan Aceh Tengah, ada kesan merepotkan berurusan dengan bank atau lembaga asuransi. Kenapa? “Urusannya berbelit-belit,” kata Salily. Harus mengeluarkan ongkos angkot, baru bisa sampai ke kantor lembaga keuangan itu. Padahal, mereka sedang berhemat demi mengumpulkan biaya pendidikan anak.