Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Copas Sudah Mulai Sejak di Sekolah

22 Juli 2013   01:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:13 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13744470361072951702

[caption id="attachment_276628" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Budaya copy paste (copas) bukan barang baru dalam dunia tulis menulis di tanah air. Sejak dibangku sekolah, “tanpa sengaja” para siswa sudah diajarkan budaya copas oleh gurunya. Sepanjang menempuh pendidikan sejak SD sampai sekolah menengah, barangkali kita sering menulis materi ajar yang didiktekan oleh guru. Ironisnya, sang guru sering meminta ketua kelas untuk mendiktekan materi ajar untuk siswa yang lain. Sementara itu, sang guru keluar kelas untuk urusan yang lain. Parahnya sang guru malah nangkring di kantin sekolah sambil ngobrol dengan guru lain. Peristiwa semacam ini pernah kompasianer alami sendiri sewaktu masih duduk dibangku SD sampai sekolah menengah. Disadari atau tidak, kebiasaan mendiktekan materi ajar kepada para siswa, sebenarnya itulah titik awal rusaknya kreatifitas siswa. Kebiasaan menerima materi ajar dengan pola itu membuat siswa malas berpikir, apalagi untuk memperdalam materi ajar. Dalam dirinya sudah terpateri bahwa esok hari mereka akan mendapat kopian bahan ajar dari gurunya. Kebiasaan menunggu bahan ajar yang didiktekan oleh sang guru, akhirnya menjadi budaya belajar. Pada gilirannya, mereka tidak mau bersusah payah memperdalam bahan ajar, cukup foto copy atau menunggu didiktekan. Budaya ini melahirkan cara berpikir yang serba instan, ingin mudah dan cepat. Lama-lama, budaya berpikir secara instan terbawa-bawa dalam upaya meniti masa depannya. Paling menyedihkan jika mereka harus menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk sebuah tulisan, biasanya mereka jadi bingung dan kelabakan. Pasalnya, selama ini mereka terbiasa memperoleh bahan jadi alias siap saji. Supaya tidak malu dalam proses aktualisasi diri, mereka rela mengabaikan harga diri dengan menjiplak (copy paste) tulisan orang lain. Lebih-lebih di dunia maya tersedia berbagai tulisan yang setiap saat bisa dicopy dengan mudah. Mereka tinggal mengubah judul, ganti nama, lalu posting kembali di media yang diinginkan. Sekali dua kali barangkali si penulis aslinya tidak tahu jika gagasannya sudah dicopas oleh orang lain, tetapi satu saat tulisan hasil copas itu akan terbaca juga. Tentu si pemilik asli dari gagasan itu akan marah jika tulisannya dicopas mentah-mentah oleh orang lain, apalagi tanpa izin dan tanpa menyebut sumbernya. Meski si penulis aslinya sudah komplain ke email yang bersangkutan atau media jejaring sosial di internet, biasanya si tukang copas tenang-tenang saja. Hal itulah yang dialami sejumlah jurnalis di Takengon Aceh Tengah, Rabu (17/7/2013) lalu. Mereka sangat kecewa terhadap ulah seorang wartawan Suara Nasional berinisial HDN yang mencopas mentah-mentah berita mereka. Hari Rabu itu, HDN diajak oleh seorang tokoh ke Posko Penanggulangan Bencana Gempa Aceh di Takengon. Tanpa sengaja, mereka mampir ke posko wartawan sambil protes atas minimnya bantuan ke desanya. Sang tokoh marah-marah sambil mengancam akan mempublikasikan ketidakmerataan penyaluran bantuan. “Kalau tidak dapat bantuan akan saya beritakan, ini wartawan yang akan menulisnya,” gertak tokoh itu sambil menunjuk ke arah HDN. “Abang menulis dimana?” tanya seorang jurnalis. “Saya nulis di Suara Nasional,” kata HDN. “Jadi abang yang bernama HDN yang selalu meng-copas berita kami ya!” teriak para jurnalis. HDN yang terkejut identitasnya sudah diketahui para jurnalis, langsung berlari meninggalkan posko itu. Sementara para jurnalis mengejar HDN sambil memotretnya dari segala arah. Akhirnya, foto HDN tersebar di beberapa media jejaring sosial yang diberi judul sebagai plagiator. Untuk apa menjadi orang hebat dan terkenal jika karya kita adalah hasil jiplakan. Lebih baik mengandalkan karya sendiri meskipun kurang sempurna. Meng-copas tulisan orang lain mudah dan isinya aduhai, tetapi itu karya orang lain. Apa gunanya tulisan bagus jika selalu gelisah dan takut bertemu dengan pemilik tulisan aslinya. Bisa-bisa sang peng-copas akan dipermalukan didepan umum seperti yang dialami oleh HDN tadi. Oleh karena itu, sudah saatnya mengikis budaya copas meskipun disadari prosesnya sudah ditanam sejak masa sekolah. Hapus budaya copas, mulailah menulis. Menulis itu mudah, tulislah dengan hati. Setelah tulisan itu jadi, editlah dengan pikiran dan logika. Selamat mencoba!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun