Siapa yang tidak mengenal Sultan Iskandarmuda, seorang raja yang berhasil membawa Aceh menjadi sebuah kerajaan yang masyhur. Ketika Iskandarmuda berkuasa sejak 1607-1636 M, negeri di ujung Pulau Sumatera itu benar-benar memasuki masa keemasan. Dia, sultan yang disegani rakyatnya dan ditakuti musuh-musuhnya.
Meskipun Iskandarmuda seorang sultan yang taat hukum, namun dalam pandangan penulis-penulis Barat, dia dianggap sebagai seorang yang kejam. Seperti diceritakan Beaulieu dalam Lombard (1967) tentang dijalankannya hukuman mati terhadap anak Raja Johor.
Sebenarnya, era keemasan Iskandarmuda menjadi tonggak sejarah penegakan hukum. Bagaimana tidak, Raja Muda, putra tunggal Iskandarmuda yang secara otomatis menjadi putra mahkota harus menerima hukuman pancung. Menurut Beaulieu dalam Lombard (1967) “Pangeran muda itu tidak lagi disukai karena dituduh berkomplot.”
Hikayat yang terus dibacakan menjelang tidur oleh orang-orang Aceh menceritakan bahwa Raja Muda tadi dinyatakan bersalah atas sebuah kasus komplotan (kriminal) yang bertentangan dengan hukum positif saat itu. Sebagai seorang putra mahkota, tentu sangat mudah bagi seorang sultan untuk mengampuninya atau istilah sekarang memberi grasi, karena Iskandarmuda memiliki hak untuk itu.
Hebatnya, Sultan Iskandarmuda yang berkuasa ketika itu malah tidak memberikan pengampunan untuk putra semata wayangnya. Dia malah memerintahkan supaya Raja Muda dipancung, sebagaimana rakyat yang melakukan pelanggaran hukum. Karena putra mahkota telah mati, akhirnya setelah Iskandarmuda wafat maka tahta kerajaan beralih kepada menantunya Raja Bungsu atau Iskandar Thani (suami Putri Sri Alam Permaisuri) yang berasal dari Pahang.
Dalam hikayat Sultan Iskandarmuda dikisahkan, menjelang prosesi pemancungan, Sultan Iskandarmuda menyampaikan satu falsafah yang sangat penting dan bernilai tinggi. Falsafah itu berbunyi: “Matee aneuk meupat jeurat, matee hukom pat tamita.” Artinya, jika anak yang mati jelas dimana kuburannya, tetapi jika hukum yang mati kemana lagi harus dicari (siapa lagi yang harus dipercayai).
Beberapa hari lalu (memasuki tahun baru), publik digegerkan oleh kasus BMW maut yang menabrak Daihatsu Luxio dari belakang, menyebabkan dua orang tewas. Kasus ini jadi hot topic diberbagai media karena sopir Jeep BMW X5 itu adalah putra dari Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, yang bernama M. Rasyid Amrullah.
Sorotan terhadap kasus tabrakan diawal tahun 2013 makin menjadi-jadi karena sopir-sopir maut sebelumnya seperti Afriyani dan lain-lain telah menjalani proses hukum. Publik yang rindu keadilan khawatir jika kasus BMW maut itu akan “raib” karena tersangkanya putra seorang menteri. Jangan heran jika media massa maupun media jejaring sosial tak henti-hentinya mengomentari perkembangan BMW maut itu.
Namun, melihat langkah yang ditempuh Hatta Rajasa dan keluarga, termasuk pernyataannya di televisi bahwa kasus itu diserahkan kepada proses hukum yang berlaku. Pernyataan itu membuktikan bahwa Ketua Umum PAN tersebut tidak ingin hukum di Indonesia mati. Secara tidak langsung, sebenarnya Hatta Rajasa sudah mengikuti jejak Sultan Iskandarmuda yang konsisten melakukan penegakan hukum.
Secara pribadi, hati siapa yang tidak tersayat-sayat melihat putranya harus mendekam dibalik teralis besi. Rasanya tidak ada manusia sehat yang tersenyum melihat anaknya masuk penjara, semua pasti bersedih. Hanya orang gila yang bisa tertawa melihat anaknya dipenjara.
Dalam kapasitas sebagai tokoh nasional, tentu Hatta Rajasa harus bersabar menghadapi musibah itu. Sebab, musibah bisa menimpa siapa saja. Musibah menjadi pernak-pernik dalam kehidupan. Kemarin, barangkali menimpa keluarga Hatta Rajasa, besok bisa jadi menimpa keluarga kita.