Seperti apa rasanya bermukim di wilayah Ring of Fire (cincin api)? Saya ingin katakan: ngeri-ngeri sedap. Ngeri, karena wilayah itu sering di”goyang” gempa bumi. Sedap, umumnya lahan yang terdapat disana subur. Dari lahan subur itu masyarakat merenda hidup, membangun perekonomian. Oleh karena itulah, mereka tak beranjak dari sana meski terus menerus di”goyang” gempa bumi.
Pulau Sumatera salah satu contohnya. Wilayah ini termasuk dalam jalur Ring of Fire Pasifik. Jalur yang berbentuk tapal kuda, mencakup wilayah sepanjang 40.000 kilometer. Wilayahnya mengelilingi cekungan Samudera Pasifik, dikenal sebagai kawasan yang paling sering dilanda gempa bumi dan letusan gunung api.
Buktinya, barangkali kita masih teringat peristiwa 26 Desember 2004, ketika wilayah paling barat Pulau Sumatera di”goyang” gempa 8,9 skala richter. Bukan itu saja, gempa dahsyat itu diikuti Super Tsunami yang menyapu hampir seluruh daratan Provinsi Aceh. Bencana itu juga menghancurkan ribuan bangunan dan permukiman, serta merenggut korban jiwa yang mencapai 150 ribu jiwa lebih.
Tidak berhenti disana, tanggal 2 Juli 2013, gempa bumi dengan kekuatan 6,2 SR kembali meng”goyang” Dataran Tinggi Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Gempa tektonik yang dikenal dengan nama Gempa Gayo itu melumpuhkan 2/3 wilayah Aceh Tengah karena sebagian besar infrastruktur, bangunan, gedung sekolah, permukiman bahkan sampai merenggut puluhan korban jiwa.
Kenapa Dataran Tinggi Gayo rawan gempa bumi? Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Aceh, Faizal Adriansyah melalui Okezonedotcom (3 Juli 2013) mengatakan: gempa yang terjadi di Dataran Tinggi Gayo akibat pergeseran sesar Sumatera atau patahan Semangko.
Patahan Semangko memiliki sesar-sesar kecil yang menyebar pada beberapa wilayah di Aceh, baik di utara maupun di selatan seperti patahan Lokop-Kutacane, Blang Kejeren-Mamas, Kla-Alas, Reunget-Blang Kejeren, Anu-Batee, Samalanga-Sipopoh, Banda Aceh-Anu, dan Lamteuba-Baro.
Gambaran tersebut mempertegas kepada warga di Provinsi Aceh, khususnya Dataran Tinggi Gayo, bahwa mereka sedang bermukim diatas sesar Sumatera atau patahan Semangko. Berdasarkan fakta empirik itu, mau tidak mau warga di kawasan tersebut harus “bersahabat” dan tanggap resiko bencana gempa.
Untuk melindungi diri dan keluarga, semua konstruksi di daerah ini harus mengacu kepada bangunan ramah gempa. Kemudian, semua warga harus memahami cara menyelamatkan diri ketika gempa meng”goyang” kawasan tersebut. Paling penting, warga perlu berpikir untuk mengsuransikan jiwa, aset dan bangunan yang dimiliki.
Orang Kaya Jatuh Miskin
Soalnya, gempa yang terjadi dengan skala diatas 6 SR, biasanya akan menghancurkan bangunan, gedung dan aset yang dimiliki warga. Akibatnya tidak tanggung-tanggung, orang kaya bisa jatuh miskin, bahkan orang miskin bisa makin miskin. Penyebabnya, para korban gempa telah kehilangan segala harta bendanya, baik tempat tinggal, tempat usaha, maupun lapangan pekerjaan.
Dalam kondisi seperti itu, sesungguhnya semua korban gempa ingin segera recovery. Sayangnya, jangankan dana cash, aset yang dimiliki sudah hancur semuanya. Ujung-ujungnya mereka pasrah, menunggu bantuan pemerintah atau donatur yang bermurah hati.