Depik atau bahasa ilmiahnya Rasbora Tawarensis merupakan satu dari sekian banyak ikan langka di nusantara. Dikatakan langka, karena populasi ikan endemik yang hidup di Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah ini semakin menurun, dikhawatirkan akan mengalami kepunahan.
Penyebabnya, ikan Depik sangat diminati warga, termasuk sebagai sajian favorit dalam setiap perjamuan. Dan, harga ikan yang panjangnya 8 cm dan lebarnya 2 cm itu terus terkatrol. Misalnya harga ikan Depik asal didisen mencapai Rp 40 ribu per 1 liter di Pasar Ikan Takengon. Harga itu sudah berada pada titik tertinggi.
“Lama kelamaan, harga ikan ini diduga akan menyamai harga emas, karena makin langka,” sebut Aman Iko warga Lot Kala Kebayakan, Takengon.
Bagaimana tidak, akibat harga jualnya yang menggiurkan maka perburuan dan penangkapan ikan istimewa itu tak pernah berhenti, baik siang atau malam hari. Nelayan dan warga tidak pernah memberi waktu jeda bagi ikan kecil itu untuk bertelur, memijah larva, dan melanjutkan generasi penerusnya.
Pasalnya, jaring khusus ikan Depik (doran-bahasa Gayo) yang panjangnya rata-rata 500-2000 meter, ditebar memanjang dari Barat ke Timur. Jaring itu seolah-olah “membelah” Danau Laut Tawar, sekaligus memutus jalur migrasi ikan langka ini. Menjaring Depik bukan dilakukan oleh 1 atau 2 orang, tetapi oleh puluhan sampai ratusan orang.
Depik benar-benar ikan kecil malang, lebih malang dari nasib Nemo. Depik hampir tidak memiliki jalan menuju tempat memijah, beberapa sumber mata air dingin disisi Utara danau. Sebab, perjalanan atau migrasi dari sisi Selatan danau harus dihentikan oleh ratusan jaring nilon yang ditebar warga.
Jutaan bahkan milyaran ekor ikan Depik betina menggelepar, terpapar rajutan benang-benang nilon. Depik yang seharusnya memijah jutaan telor dari perutnya, terpaksa harus merelakan perut buncit itu dijadikan gulai Depik Pengat atau Depik Dedah. Santapan istimewa dan paling dicari warga disana.
Ikan Depik akan segera punah. Itu isu paling mengkhawatirkan yang beredar dikalangan para pencinta lingkungan. Mereka berpikir keras, bagaimana cara menyelamatkan populasi ikan Depik. Perburuan dan penangkapan ikan langka itu tak terbendung. Disisi lain, ikan langka ini belum bisa dibudidayakan. Pakannya cemperle (serangga air), tidak mau makan pelet, dan akan mati begitu dikurung dalam kolam atau wadah khusus.
Pada tahun 2004, saya pernah mencoba memelihara ikan Depik dalam aquarium. Kegunaannya waktu itu, ikan langka yang diperoleh dari didisen dalam keadaan hidup itu, akan dipamerkan pada acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 2004 di Banda Aceh.
Memang, ikan langka itu sempat dipajang di serambi Umah Pitu Ruang (Rumah Adat Gayo), dan menjadi tontonan favorit para pengunjung. Sayang, makin lama gerak ikan bergelar “perenang cepat” itu makin melemah. Pakan pelet yang diberikan sama sekali tidak disentuh. Akhirnya, ikan malang itu hanya mampu bertahan hidup seminggu lamanya.
Ditengah kekhawatiran warga dan pencinta lingkungan terhadap punahnya ikan Depik, muncul seorang alumnus IPB Bogor bernama Iwan Hasri. Anak muda pelopor ini lahir di Takengon 18 Juni 1983, dikenal sebagai sosok yang cukup peduli terhadap keberlanjutan populasi ikan Depik dan ikan Jurong (Tor.sp).