Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tinggalkan Pekerjaan Kasir, Neti Pilih Jual Air Tebu

14 September 2016   22:17 Diperbarui: 15 September 2016   09:46 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan dari Banda Aceh ke Takengon sejauh 350 Km terasa sangat melelahkan apabila tidak pernah berhenti (non stop). Memang waktu tempuhnya hanya sekitar 6-7 jam. Bagi saya, perjalanan jauh seperti itu menjadi semacam blusukan --traveling-- kesempatan untuk menikmati indahnya panorama. Terkadang saya sempatkan mampir di warung penjual air tebu dan kelapa muda, atau tempat lain yang tergolong unik. Jangan heran, bila akhirnya waktu tempuh menuju Takengon bisa mencapai 10-12 jam. 

Menariknya, di setiap pemberhentian itu, saya memperoleh kisah menarik. Salah satunya adalah kisah ibu Neti (40), perempuan beranak 3 asal Desa Lampisang Aceh Besar. Dia membuka warung, lebih tepat dikatakan bedeng beratap daun rumbia, di lepas kota Seulimum [sekitar 40 Km dari Banda Aceh]. Sambil menikmati air kelapa muda, Jumat [9/9/2016], saya berbincang-bincang dengan si  pemilik warung. Dia begitu senang diwawancarai, apalagi kata saya: kisahnya akan saya tulis di Kompasiana.

Dari cerita perempuan paruh baya itu, saya ketahui bahwa dia pernah bekerja sebagai kasir pada sebuah cafe di Banda Aceh. Gajinya lumayan besar, Rp 2 juta per bulan. Hanya saja, setiap hari dia berkutat dengan angka-angka. Itulah yang membuatnya jenuh. Akhirnya perempuan itu memutuskan hubungan kerja alias resign. Kini, dia membuka usaha warung air tebu dan kelapa muda di pinggir jalan negara Banda Aceh-Medan.

Kenapa dia rela melepas gaji Rp 2 juta per bulan? Ternyata upah sebagai buruh lebih kecil dibandingkan penghasilannya sebagai penjual air tebu. Simak saja perbandingannya, rata-rata omset warung air tebu yang dikelolanya mencapai Rp 300 ribu per hari. Dari omset sebesar itu, dia sudah meraup laba  bersih sekitar Rp 100 ribu sehari. Bahkan, pada hari raya idul fitri yang lalu atau hari libur, omsetnya bisa mencapai Rp 1,5 juta sehari. Menarik bukan?

Pengeluarannya tidak terlalu banyak, di antaranya untuk membayar sewa tanah tempat usahanya sebesar Rp 250 ribu sebulan. Selain itu, dia juga mengeluarkan biaya untuk membeli tebu. Selebihnya, itulah penghasilan bersih yang diperoleh perempuan ini. Hitung-hitung, dari usaha itu, dia memperoleh penghasilan bersih sekitar Rp 3 juta lebih per bulan.

Selain untuk sewa tanah, ada pengeluaran untuk membeli tebu. Saya coba telisik asal pasokan tebu itu. “Dari Takengon,” kata Neti blak-blakan. Padahal,,  di Aceh Besar banyak tanaman tebu, kenapa harus dipasok dari Takengon? Menurut Neti, tebu Aceh Besar terlalu manis, lagi pula air perasannya berwarna merah kehitam-hitaman. Orang yang mampir ke warungnya tidak suka air tebu yang terlalu manis, apalagi warnanya kurang menarik. 

"Seolah-olah air tebu semacam itu produk lama," ungkap Neti.
“Air tebu dari Takengon berwarna hijau, itu warna yang disukai orang,” tambah Neti.

Berapa harga sebatang tebu yang harus dibayar Neti? Murah, kata perempuan itu, berkilah. Meskipun akhirnya dia mengakui bahwa harga tebu Blang Mancung adalah Rp 2.800 per batang. Satu ikat itu sebanyak 10 batang, harganya Rp 28 ribu. Kapan harga tebu tersebut dibayar? Menurut Neti, sore nanti ketika sopir truk pulang dari Banda Aceh. Mereka mampir ke warungnya untuk menagih uang penjualan tebu. 

Ibu Neti ini, salah satu dari sekian banyak perempuan gigih di Indonesia. Orang-orang seperti inilah yang bisa menghadapi bonus demografi, yaitu lonjakan penduduk tahun 2020-2030. Terkait dengan itu, saya coba bertanya kepada perempuan ini, apakah dia paham dampak bonus demografi? Dia menggeleng. Saya jelaskan bahwa bonus demografi merupakan lonjakan penduduk usia produktif mulai dari usia 15-64 tahun. 

Saya tambahkan, hal itu bisa menjadi anugerah apabila penduduk usia produktif yang semangatnya seperti ibu Neti, jumlahnya banyak di negeri ini. Sebaliknya akan menjadi problem besar apabila semua orang ingin menjadi karyawan sementara lapangan kerja sangat terbatas. Akibatnya angka pengangguran akan melonjak diikuti dengan naiknya jumlah penduduk miskin. 

Ibu Neti manggut-manggut, tandanya memahami apa yang saya sampaikan. Saya tanya, apa tanggapannya terhadap dampak bonus demografi itu? Kata ibu Neti: jangan pernah malu berwirausaha. Disekitar kita banyak peluang usaha halal, semuanya bisa menghasilkan uang. Bahkan, kehadiran kita di dunia usaha akan memberi pekerjaan [minimal] kepada 2 orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun