Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gegara Iuran BPJS, Si Kaya Gapapa, Si Miskin Bertahan Hidup

18 Juni 2016   20:15 Diperbarui: 18 Juni 2016   21:29 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gagal ginjal, itulah vonis dokter yang paling ditakuti. Mendengar vonis semacam itu, siapapun akan langsung down mentalnya. Merasa kehilangan harapan hidup, karena kesempatan untuk menghirup udara tinggal menghitung hari. “Gerbang kematian” seolah-olah sudah berada didepan mata. Mengapa? Karena fungsi ginjal sangat vital sebagai penyaring darah dari limbah-limbah metabolisme. Pada saat ginjal gagal menjalankan fungsi itu, akibatnya terjadi penumpukan racun, cairan ekstra dan mineral berbahaya dalam darah. Ujung-ujungnya, ajal akan segera tiba.

Meskipun vonis itu terasa begitu berat, tentu masih ada terapinya. Dr Hardi Yanis SpPD, Direktur RSU Datu Beru Takengon, Jumat [17/6/2016] di ruang kerjanya mengatakan bahwa pasien gagal ginjal yang tergolong parah [stadium akhir] masih bisa bertahan hidup dengan dua pilihan: (1) dialisis [cuci darah]; atau (2) transplantasi. Dialisis dapat dilakukan melalui hemodialisis yaitu pasien harus tersambung ke mesin dialisis sekurang-kurangnya dua atau tiga kali seminggu. Sedangkan untuk transplantasi harus ada donor yang bersedia menyumbangkan ginjal. Masalahnya, siapa yang bersedia menjadi donor? Makanya cara yang lebih murah dan praktis tentu dengan hemodialisis.

“RSU Datu Beru sudah memiliki fasilitas hemodialisis sejak tahun 2009,” tegas Hardi Yanis.

Ironinya, proses hemodialisis memerlukan biaya yang cukup besar. Hanya golongan “the have” yang berkemungkinan bisa memanfaatkan terapi itu. Bayangkan, sekali cuci darah di RSU Datu Beru Takengon [sekitar 4-5 jam] membutuhkan biaya sebesar Rp 700 ribu, belum termasuk biaya obat. Maka, seorang pasien harus mengeluarkan uang lebih dari Rp 1,4 juta setiap minggu. Dengan pengeluaran sebesar itu, pasti si kaya pun akan papa, hartanya terkuras untuk membiayai terapi tersebut. Apalagi si miskin, tidak ada pilihan, mereka harus “nrimo” merelakan penumpukan racun, cairan ekstra dan mineral berbahaya dalam darahnya.

Gotong-royong demi Indonesia yang lebih sehat

Duh, masih adakah solusi agar mereka bisa bertahan hidup? Ada, mereka harus memiliki jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan. Bukankah premi asuransi kesehatan itu mahal? Boleh jadi mahal bagi mereka yang sehat wal afiat, tetapi sangat murah bagi mereka yang sedang menjalani terapi dialisis akibat gagal ginjal. Disinilah berlaku prinsip gotong-royong demi Indonesia yang lebih sehat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional [SJSN]. Artinya, peserta yang sehat membantu peserta yang sakit. Sebaliknya, saat peserta yang sehat itu jatuh sakit, dia juga akan dibantu oleh peserta yang lain.

Prinsip gotong-royong itu sangat relevan dengan akar budaya Bangsa Indonesia. Lihat saja, anak bangsa ini sudah dibiasakan dengan nilai-nilai gotong-royong sejak kecil. Misalnya, seorang anak sering “mengekor” ibunya rewang pada sebuah acara pra-mantenan. Pada kesempatan yang lain, mereka juga sering melihat tetangga datang ke rumahnya untuk rewang. Mereka juga sering melihat bapaknya bersama tetangga yang lain membantu mendirikan rumah seorang warga, dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan contoh kearifan lokal itu, semakin meyakinkan kita bahwa prinsip gotong-royong bukan barang baru dalam kehidupan sosial di Indonesia.

Sekarang, nilai-nilai gotong-royong itu diimplementasikan oleh negara dalam sebuah sistem jaminan sosial nasional. Apa saja komponen jaminan sosial itu? (1) Jaminan kesehatan; (2) Jaminan kecelakaan kerja; (3) Jaminan hari tua; (4) Jaminan pensiun, dan (5) Jaminan kematian. Lalu, siapa saja yang wajib menjadi pesertanya? Dalam pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 disebutkan: (1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial [BPJS], sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti; (2) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BPJS. Penerima bantuan ini adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.

Sekarang, mari kita telisik terkait dengan jaminan kesehatan.  Pada pasal 19 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 ditegaskan: (1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas; (2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Lantas, siapa saja yang termasuk sebagai peserta jaminan kesehatan? (1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah; (2) Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan; (3) Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran [Pasal 20 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004].

Seandainya ada teman kita yang sudah di-PHK, jaminan kesehatannya tetap berlaku paling lama 6 bulan. Apabila setelah 6 bulan yang bersangkutan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu, termasuk mereka yang cacat total tetap dan tidak mampu, maka iurannya akan dibayar oleh Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun