Keterangan foto: atraksi tari Guel dalam acara GayoFest 2015 di bundaran Simpang Lima Takengon [Foto: Joe Samalanga]
Minggu sore, 27 Desember 2015, jalanan Kota Takengon cukup lengang. Seperti hari Minggu sebelumnya, warga menghabiskan akhir pekan di kebun kopi masing-masing. Penghuni Kota Takengon pada sore itu lebih banyak pedagang daripada pembeli. Begitulah suasana Kota Takengon pada setiap akhir pekan.
Di sebuah kios butik, seorang perempuan paruh baya sedang asyik memilih pakaian jadi. Tiba-tiba perempuan paruh baya itu terkejut. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, seperti mendengar bunyi aneh, lalu keluar dari kios butik.
Perempuan itu berlari ke arah lapangan parkir Pasar Inpres Baleatu Takengon. Selain perempuan itu, rupanya para pedagang pun keluar dari kiosnya. Mereka melongok ke arah asal suara. Bukan hanya mereka, warga yang tinggal di sekitar pasar ikut berhamburan dari rumahnya.
Mereka musara [menyatu-bahasa Gayo] di lapangan parkir itu, menyaksikan atraksi sejumlah seniman jalanan reog ponorogo asal Paya Dedep Kecamatan Jagong Jeget Aceh Tengah. Seniman reog ini, kemudian bergerak menuju bundaran Simpang Lima, diikuti oleh para penonton. Ternyata, dari arah barat Bundaran Simpang Lima, seniman Tambu Minang ikut merapat ke sana. Sementara itu, para penari Guel sudah terlebih dahulu memulai aksinya di pusat Kota Takengon itu.
Warga tidak menduga, ternyata salah satu atraksi GAYOFest 2015 mengambil ruas jalan sebagai panggung aksi mereka. Inilah yang membuat suasana menjadi heboh, biasanya aksi di jalanan adalah demonstrasi atau unjuk rasa. Sore itu, warga mendapat suguhan hiburan dari tiga unsur budaya berbeda. Suguhan itu diapresiasi warga dengan tepuk tangan. Penonton menyebutnya sebagai atraksi paling unik di akhir tahun 2015.
Unik? Benar, memadukan tiga jenis atraksi seni dalam satu panggung tergolong pekerjaan sulit. Biasanya, atraksi yang satu akan tampil menurut versinya, sedangkan atraksi yang lain pasti mengikuti skenarionya sendiri. Pada akhirnya akan melahirkan bunyi-bunyi perkusi timpang dan akan sangat membosankan.
Atraksi seni jalanan GAYOFest 2015 ini berbeda. Hadirnya tiga jenis seni dari tiga budaya berbeda malah menghasilkan suasana “magis”, hening, dan sesekali tepuk tangan dari penonton. Warga yang menyaksikan atraksi itu mengaku merinding. Mereka larut dalam perpaduan tiga budaya nusantara.
“Kalau ditambah penampilan tari debus, makin seru lagi,” ungkap Jauhari Samalanga sang kreator jenius, sosok penting di balik suksesnya acara GAYOFest 2015 itu. Apa yang mendorong lelaki asal Samalanga Kabupaten Bireuen itu menggarap atraksi seni jalanan tersebut?
Menurut Jauhari Samalanga, Gayo mempunyai solidaritas kuat dalam kulturnya. Tetap kuat mengikat kebersamaan dalam keberagaman. GAYOFest 2015 adalah sikap budaya untuk memotivasi kita, bahwa budaya adalah komunikasi damai. Wajib dipelihara, sepanjang kita semua sependapat bahwa budaya adalah citra dari sebuah masyarakat.
Setelah atraksi seni jalanan itu, acara GAYOFest 2015 dilanjutkan di Umah Pitu Ruang, komplek Disbudparpora Aceh Tengah. Malam itu, Jauhari Samalanga menyuguhkan sejumlah atraksi apik untuk warga Tanoh Gayo. Di antaranya: Saman Gayo Lues, Rabbani Wahed dari Kabupaten Bireuen, Didong Jalu Semalam Suntuk, Band, Puisi, Guru Didong "Sarik Sepi" dan beberapa penyanyi muda Tanoh Gayo.