Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Derita Seorang Pengopi

22 Mei 2015   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432286108214355558

[caption id="attachment_384915" align="aligncenter" width="600" caption="Warung di tengah ladang kopi ini ternyata menyediakan kopi instan merek N..."][/caption]

Manakala sensasi secangkir kopi sudah menjadi bagian hidup, terkadang lidah ini sangat sulit diajak kompromi. Kondisi itu menjadi “penderitaan” tersendiri. Bagaimana tidak, kopi yang disajikan warung kopi tidak seluruhnya berasal dari bubuk kopi murni. Supaya dapat dijual murah, biasanya bubuk kopi itu dicampur dengan beras atau jagung.

Akibatnya, begitu seruputan pertama menyentuh lidah, yang terdeteksi adalah rasa jagung atau beras. Detik itu pula nikmat secangkir kopi serta merta hilang. Lidah hanya merasakan komponen jagung gongseng plus sedikit kopi. Kehadiran jagung gongseng atau campuran lainnya makin kentara apabila secangkir kopi itu tanpa ditambah gula.

Begitu pekanya lidah ini karena sudah terbiasa menikmati secangkir kopi berbahan baku100% pure coffee. Bagi saya, saat-saat seperti itu tergolong sebuah “penderitaan.” Lidah ini bergejolak meminta secangkir kopi, tetapi yang tersaji adalah air hitam beraroma jagung gongseng. Saat ditawarkan minum kopi, terkadang saya lebih suka secangkir air hangat atau saya katakan tidak minum kopi.

Bahkan saat mampir di sebuah warung kopi, saya lebih suka memesan kopi instan merek N dengan syarat tanpa ditambah gula, alias kopi pahit. Cita rasa kopi instan itu mendekati cita rasa kopi Gayo meskipun aromanya berbeda. Setidak-tidaknya, secangkir kopi instan itu telah memadamkan rasa asam di rongga mulut.

Bermula saat kehabisan kopi ketika mengkoordinir penanganan infrastruktur jalan yang rusak akibat gempa 6,2 SR di Aceh Tengah, Juli 2013. Sudah berhari-hari kami berada ditengah belantara dan ladang kopi. Disana hanya ada tanaman kopi dan beberapa pondokan petani. Malam pun semakin larut, rasa kantuk makin menekan, lidah meminta secangkir kopi.

Demi secangkir kopi, saya memberanikan diri menggedor warung kecil ditengah ladang kopi itu. Bertubi-tubi pintu warung itu digedor, saya katakan bahwa kami dari tim yang sedang membersihkan longsoran. Akhirnya si pemilik membuka pintu warung itu.

Saya minta disediakan 10 cangkir kopi sambil menyerahkan lembaran uang Rp 100 ribu. Dikatakan pemilik warung, dia tidak menyediakan bubuk kopi Gayo, yang ada hanya kopi instan merek N. “Rasa kopi instan ini sama dengan kopi Gayo,” kata pemilik warung itu.

Saya terkejut mendengar pernyataan itu. Pasalnya, ditengah ladang kopi Gayo yang sangat terkenal itu, ternyata warga mengonsumsi kopi instan. Uniknya, si pemilik warung berani mengatakan bahwa kopi instan itu rasanya sama dengan kopi Gayo.

Setelah menyeruput secangkir kopi instan tanpa gula ditengah malam cukup dingin itu, benar memang, rasanya tidak berbeda jauh dengan kopi Gayo. Hanya saja, aromanya yang berbeda dengan kopi Gayo, tetapi efeknya mengakibatkan kami sanggup melek sampai pagi.

Sejak saat itu saya berkeyakinan bahwa kopi instan merek N cocok sebagai alternatif ketika disuatu tempat tidak tersedia kopi Gayo. Untuk mengantisipasi gejolak lidah, memang saya selalu menyiapkan bubuk kopi Gayo didalam ransel, terutama saat berpergian keluar kota. Ketika rehat disebuah warung kopi, saya memesan secangkir air panas untuk mengaduk bubuk kopi.

Seketika memancarlah aroma kopi dari cangkir kopi tersebut. Biasanya, pancaran aroma itu mengundang tanya dari pemilik warung kopi. Saya katakan, ini kopi asli dari Dataran Tinggi Gayo. Saya tawarkan dia untuk mencobanya, termasuk para pengopi yang ada disana. Begitu kopi itu direguknya, mereka mengaku belum pernah merasakan cita rasa kopi sejenis itu.

Momentum itu saya manfaatkan untuk mengobrol dan berkenalan. Materi perbicangan, biasanya, terkait cara kerja kafein. Mereka perlu mendapat pencerahan tentang kafein yang dikandung oleh kopi. Kenapa? Supaya mereka memahami efek secangkir kopi dan manfaatnya bagi tubuh.

Begini cara kerja kafein. Adenosin terdapat dalam otak kita. Adenosin ini senantiasa ingin bertemu dengan receptor-nya (adenosin receptor). Ketika keduanya bertemu, timbul rasa kantuk. Apabila datang kafein, adenosin receptor lebih suka bertemu kafein daripada adenosin. Kelenjar Pituitary yang terletak dibawah otak mengira ada kondisi darurat. Kelenjar Pituitary memerintahkan kelenjar adren untuk segera menghasilkan adrenalin.

Jadi, kafein itu memperbesar tingkat dopamine yaitu zat kimia yang tugas utamanya menyampaikan pesan dari saraf yang satu ke saraf yang lain. Oleh karenanya, kafein dapat membuat kantuk menjadi melek. Begitulah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun