Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Urus Konstruksi, Ya Menangis...

6 Februari 2014   22:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_310672" align="aligncenter" width="628" caption="Anak Sekolah, subyek yang harus menjadi fokus pikiran seorang kepala sekolah."][/caption] Apabila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, tunggulah kehancuran. Benar sekali, mereka yang tidak ahli menangani konstruksi, ditugasi untuk mengurus konstruksi maka pelanggaran hukum menanti. Mereka ahlinya urusan pedagogik atau mengajar anak sekolah, karena memperoleh kucuran dana dari “atas” untuk membangun ruang kelas, jadilah mereka sebagai pengelola proyek konstruksi. Apa yang kemudian terjadi? Mereka harus berhadapan dengan hukum karena diduga 8 dari 10 ruang kelas yang dibangunnya tidak sesuai dengan spesifikasi. Korbanlah mantan Kepala SMA Negeri 1 Kota Madiun yang berinisial BSB. Dia bersama RS mantan Kepala SMA Negeri 5 Kota dalam kasus yang lain, ditahan oleh Pengadilan Tipikor Surabaya pada hari Rabu kemarin (Kompasdotcom, 5/2/2014). Kasihan dan miris, barangkali hanya kata itu yang dapat diucapkan orang saat membaca berita tersebut. Kasihan, karena begitu ditahan, kedua orang itu menangis. Padahal, sebelum ada perintah penahanan, kedua mantan kepala sekolah itu dikabarkan masih senyam senyum. Miris, wajah dunia pendidikan kembali tercoreng atas kasus itu. Seharusnya, sekolah merupakan awal mula karakter bangsa dibentuk. Nasi telah jadi bubur. Semua telah terjadi, tidak mungkin lagi memutar waktu untuk memperbaiki semua kekeliruan itu. Kedua guru itu harus menerima resiko atas ketiadaan ilmu dibidang konstruksi. Keahlian mereka urusan mengajar. Tetapi dengan mengucurnya dana block grant 2012, terpaksa sang guru bersikap “sok tahu” untuk urusan konstruksi. Apa yang engkau cari bapak dan ibu guru? Padahal, engkau adalah pelita ditengah kegelapan. Entah kenapa, akhir-akhir ini orang pada latah untuk terjun ke dunia konstruksi. Anehnya, mereka yang tidak paham struktur bangunan, buta mutu beton, atau tak kenal ukuran besi, malah ramai-ramai mengaku sebagai penyedia jasa konstruksi. Bahkan ada banyak pula yang nekat mengerjakan pekerjaan konstruksi skala besar. Dunia pendidikan pun ikut-ikutan latah. Sekolah sebagai satuan pendidikan seyogyanya meng-“konstruksi” muridnya menjadi sosok berkarakter malah tergiur konstruksi. Lebih-lebih setelah kepala sekolah dibebani tugas tambahan oleh APBN atau APBD, diantaranya untuk mengelola konstruksi (membangun ruang kelas). Biasanya, kepala sekolah dicari-cari oleh wali murid karena anaknya tidak naik kelas. Kini terbalik, setelah sekolah mengelola konstruksi, kepala sekolah dikejar-kejar oleh penyedia jasa konstruksi (kontraktor atau tukang) untuk meminta pekerjaan. Dalam kondisi seperti itu, konsentrasi seorang kepala sekolah terfokus memikirkan kepada siapa diberikan pekerjaan konstruksi itu. Dia juga harus berpikir keras dalam mengawasi pekerjaan konstruksi tersebut. Habislah waktu dan pikiran seorang kepala sekolah dalam urusan konstruksi. Seharusnya, sebagai seorang kepala sekolah, dia mengawasi proses belajar mengajar di satuan pendidikan yang dipimpinnya. Mencermati hal itu, sejumlah kabupaten/kota di Aceh mengambil langkah cerdas. Untuk menyelamatkan para kepala sekolah dari kasus-kasus seperti itu, dan supaya Dinas Pendidikan fokus mengawal peningkatan mutu, maka RAPBD sejumlah kabupaten/kota di Aceh menempatkan proyek pembangunan gedung sekolah ke satuan kerja Dinas Cipta Karya. Apa yang terjadi? Ketika RAPBD itu dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri, proyek-proyek pembangunan gedung sekolah dikembalikan ke Dinas Pendidikan. Aneh? Pemerintah Daerah sangat serius ingin meningkatkan mutu pendidikan dengan membebaskan Dinas Pendidikan dan sekolah dari urusan konstruksi. Sebaliknya, Pemerintah Pusat [Kementerian Dalam Negeri] malah membebani kembali dinas itu dengan urusan konstruksi. Ada apa ini? Patut dipertanyakan, ada apa dibalik hasil evaluasi itu. Setelah direnungkan dalam-dalam, ternyata bukan daerah yang tidak ingin meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. Tetapi, kebijakan [evaluasi RAPBD] oleh pemerintah pusat yang memaksa Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah terpecah konsentrasinya dengan urusan konstruksi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan makin banyak kepala sekolah [guru] yang akan berurusan dengan aparat penegak hukum seperti yang dialami dua mantan kepala SMA di Kota Madiun. Kalau sudah begitu, siapa yang salah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun