[caption id="attachment_303649" align="aligncenter" width="688" caption="Memasak dengan kayu bakar sudah menjadi tradisi. Kini, Elpiji naik, petani kembali gunakan kayu bakar. (Foto: Malsi Daud)"][/caption] Memasuki tahun baru 2014, rakyat Indonesia mendapat kado “istimewa” dari Pemerintah. Kado “istimewa” itu semacam kejutan awal tahun atas naiknya harga Elpiji. Pendadakan ini membuat warga yang sudah terlanjur menggunakan Elpiji sebagai bahan bakarnya, benar-benar dibuat kalang kabut. Tidak ada sinyal atau tanda-tanda dari Pemerintah bahwa Elpiji akan naik sebesar Rp. 50 ribu, dari sebelumnya hanya Rp. 85 ribu per tabung ukuran 12 Kg. Sayangnya, seperti dirilis TVOne, Pemerintah melalui Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengaku tidak bisa mengintervensi kenaikan harga Elpiji ukuran 12 Kg. Kenaikan ini, tambah Hatta Radjasa, sepenuhnya menjadi kewenangan korporasi dalam hal ini RUPS Pertamina. Pemerintah hanya bisa mengintervensi harga Elpiji ukuran 3 Kg, karena untuk jenis ini mendapat subsidi Pemerintah. Kenyataannya, bukan hanya harga Elpiji ukuran 12 Kg yang melonjak, tetapi Elpiji ukuran 3 Kg ikut menipis di pasaran. Elpiji ukuran 3 Kg yang merupakan bagian dari program konversi minyak tanah ke gas, malah hilang dari pasaran. Memang harganya tidak naik, tetap Rp.20 ribu per Kg, tetapi para pengguna tabung 12 Kg kini beralih ke tabung 3 Kg. Inilah yang menyebabkan stok Elpiji ukuran 3 Kg makin menipis. Bagi warga Aceh Tengah, menggunakan bahan bakar Elpiji untuk memasak baru mereka lakukan sekitar dua tahun lalu. Ketika program konversi minyak tanah ke gas, banyak warga yang berkeberatan karena mereka sudah secara turun temurun memasak dengan kayu bakar. Lebih-lebih setelah media televisi menyiarkan tentang banyaknya tabung 3 Kg yang meledak, membuat mereka makin takut. Mereka lebih suka menggunakan kayu bakar untuk memasak. Oleh karena itu, mengajak mereka menggunakan gas sebagai bahan bakar untuk memasak, sebenarnya setengah “dipaksa” demi suksesnya program Pemerintah Pusat. Tidak mengherankan jika Kabupaten Aceh Tengah termasuk salah satu kabupaten terakhir yang berhasil melakukan konversi minyak tanah ke gas. Setelah dua tahun menggunakan Elpiji sebagai bahan bakar, mereka mulai familier dan menyukainya karena tidak menimbulkan asap. Malah karena cukup familier dengan Elpiji, warga di pedesaan Aceh Tengah yang tinggal ditengah ladang kopi, rata-rata sudah beralih dari tabung ukuran 3 Kg ke tabung ukuran 12 Kg. Alasannya, rumahnya jauh dari distributor gas Elpiji sehingga tidak mungkin sebentar-bentar turun gunung hanya untuk membeli Elpiji ukuran 3 Kg. “Gas 12 Kg itu tahan sebulan, jadi kami turun dari ladang sebulan sekali, beli gas sambil belanja kebutuhan pokok,” kata Ahmad warga Pucuk Deku, Kecamatan Bies, Aceh Tengah, Jumat (3/1/2014). [caption id="attachment_303650" align="alignright" width="300" caption="Memasak dengan kayu bakar, tradisi turun temurun. (Foto: Malsi Daud)"]