Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mengatur Belanja Bulanan dalam 31 Amplop

27 September 2012   02:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:37 8003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_208240" align="aligncenter" width="640" caption="Belanja yang dialokasikan dalam amplop bertanggal 27 sebesar Rp. 25 ribu, maka menu hari ini barangkali hanya sayuran dan sisa ikan kemarin."][/caption] Sebenarnya, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah, urusan waspada dan berhemat sudah diatur dalam sebuah sistem kearifan lokal. Pengaturan itu disosialisasikan dengan menuliskan kalimat “keramat” itu disejumlah buku, ditempat-tempat umum atau balai-balai pertemuan. Apa gerangan bunyi kalimat “keramat” itu? Bunyinya adalah: “Inget-inget sebelum kona, hemat jimet tengah ara.” Kalimat “keramat” itu bermakna bahwa kita harus selalu waspada dan hati-hati sebelum terjadi sesuatu, dan kita harus berhemat ketika masih ada uang (bahan pangan). Maknanya sangat dalam. Apabila maknanya dibalik, kira-kira maksudnya: kalau sudah terjadi kecelakaan (suatu peristiwa) tidak ada gunanya lagi hati-hati, dan kalau uang sudah habis tidak ada gunanya lagi berhemat. Sayangnya, kalimat "keramat" itu kini hanya menjadi sekumpulan huruf yang tak bermakna. Lebih-lebih setelah masuknya pengaruh globalisasi melalui media televisi yang makin jauh sampai menembus ke jantung daerah terisolir, maka gaya hidup masyarakat juga berubah. Misalnya, mereka mulai mengenal handphone keluaran terbaru, pakaian yang modis, kenderaan terbaru dan berbagai produk mewah lainnya. Akhirnya iklan-iklan itu menjadi wabah konsumerisme, alhasil falsafah “hemat jimet tengah ara” makin tergerus zaman. Sebagai karyawan biasa dengan penghasilan “cukup makan” sangat merasakan dampak dari wabah konsumerisme itu. Begitu muncul iklan tentang produk terbaru di televisi, semua anggota keluarga pada “ngiler” ingin segera membeli produk itu. Ironisnya, begitu menerima upah bulanan, uang itu terus mengalir ke toko-toko yang menjual produk mewah itu. Belum sampai bulan berikutnya, persediaan belanja rumah tangga sudah terkuras semuanya. Pada akhirnya, saya terpaksa berhutang kebutuhan pokok kepada para pedagang langganan. Kapok dengan kondisi itu, saya nekad membuat program “31 amplop.” Program ini dimaksudkan untuk mengatur belanja bahan pokok harian untuk jangka waktu sebulan ke depan. Untuk itu, saya menyiapkan 31 lembar amplop yang disetiap amplopnya saya tulis dari tanggal 1 sampai tanggal 31. Nantinya, dalam setiap amplop diisi uang dengan nilai nominal yang bervariasi. Kami sudah sepakat, untuk membeli lauk pauk pada tanggal 1 harus diambil dari amplop nomor 1, untuk tanggal 2 dari amplop nomor 2 dan seterusnya. Bagaimana mengatur jumlah uang yang diisi dalam 31 amplop itu? Setelah menerima upah (gaji) bulanan, pertama sekali yang harus dikeluarkan adalah biaya untuk tagihan kredit rumah, air, listrik, telepon (pulsa), BBM, uang jajan anak-anak, biaya sekolah, harga beras untuk sebulan, dan saving untuk kebutuhan darurat. Kemudian, sisa dari kebutuhan utama itu menjadi belanja bulanan atau belanja lauk pauk. Belanja bulanan dimaksudkan untuk membeli kebutuhan harian atau tepatnya urusan dapur. Dalam amplop tanggal 1 terkadang saya isi Rp.50 ribu, ini artinya menu makan pada hari itu dapat berbentuk ikan basah, sayuran, tempe dan lain-lain. Karena diperkirakan sisa ikan pada tanggal 1 masih ada, maka pada amplop tanggal 2 diisi Rp.20 ribu, artinya menu pada hari itu cukup dengan telor ditambah sisa ikan yang kemarin. Terkadang pada amplop tanggal 15 diisi Rp.100 ribu, artinya menu pada hari itu adalah ayam dengan sayuran dan buah. Kalau ingin menambah menu diluar yang sudah direncanakan, maka salah satu solusinya adalah memancing di danau atau menanam sayuran dihalaman rumah. Setelah isteri belanja dengan uang yang tersedia dalam amplop itu, barangkali ada tersisa sebesar seribu atau dua ribu rupiah maka uang itu dimasukkan kembali dalam amplop tersebut. Uang sisa itu akan menjadi saving belanja lauk pauk untuk bulan berikutnya, tetapi tidak digunakan untuk bulan berjalan. Hal ini dimaksudkan agar yang memasak dapat memaksimalkan menu yang ada serta menghindari makanan agar tidak mubazir. Meskipun jumlah amplop itu sebanyak 31 lembar, tetapi yang berisi uang disesuaikan dengan jumlah hari dalam bulan berjalan, Misalnya, pada bulan Februari, jumlah amplop yang berisi uang belanja lauk pauk hanya 28 lembar. Pada bulan September, jumlah amplop yang berisi uang belanja sebanyak 30 lembar, dan pada bulan Desember diisi uang untuk 31 lembar amplop itu. Memang setelah menggunakan pengaturan belanja bulanan secara terencana seperti ini, meskipun penghasilan pas-pasan ternyata setiap akhir bulan masih tersisa sedikit uang untuk keperluan saving. Layak untuk dicoba!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun